CARA MENDAFTAR

1 Kunjungi pmb.machung.ac.id.
2 Lengkapi Data.
3 Tunggu Email Konfirmasi

Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: info@machung.ac.id. Terima Kasih!

Jadwal Buka ADMISI UMC

Senin-Jumat 8:00AM - 5:00PM

Mengakar Lebih Dalam, Untuk Menjulang Lebih Tinggi *

by admin dkv / 17 June 2020 / Published in Machung

Oleh : Aditya Nirwana

Menakar Disparitas

Pertemuan pemuda Indonesia dari 34 provinsi, beserta komunitas diaspora pada tanggal 13-15 Agustus 2018 di Jakarta guna merumuskan visi Indonesia 2045, menyisakan harapan kepada kualitas sumber daya manusia, terutama pemuda. Dengan semangat melanjutkan Sumpah Pemuda 1928, pertemuan tersebut menghasilkan komitmen dalam beragam bidang. Setelah membaca dokumen berjudul “Visi Indonesia 2045”, ada beberapa hal yang menurut saya cukup problematik, lantaran disparitas harapan dan kenyataan. Karena begitu luas, saya akan menggarisbawahi beberapa hal saja, yakni: 1) Pelestarian budaya serta prioritas identitas bangsa dalam pembangunan; 2) Pengembangan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal; dan 3) Output pendidikan yang kreatif, inovatif, dan berdaya saing global dengan berakar kepada budaya daerah (Conference of Indonesian Diaspora Youth, 2018).

Sebelum jauh melangkah ke 2045, “checkpoint” yang harus kita lewati adalah tahun 2030. PwC, salah satu kantor jasa auditor profesional terbesar di dunia memproyeksikan Indonesia akan berada pada peringkat 5 untuk ekonomi terbesar di dunia pada tahun itu. Sektor Ekonomi Kreatif (Ekraf) Indonesia turut ditargetkan menjadi kekuatan Ekraf global. Nilai PDB Ekraf Indonesia pada tahun 2018 sebesar 1.105 T, dan 1.200 T pada akhir 2019 (Bekraf, 2019). Namun ironi tampak pada Ekraf berbasis seni dan budaya tradisional. Meski tampak “eksotis” dan kerap menjadi sumber pemasukan daerah serta devisa negara melalui pariwisata, seni dan budaya tradisional semakin terpinggirkan dan tergilas modernitas. Akibatnya, seniman tradisional mengalami degradasi kesejahteraan. Secara struktural seniman tradisional tidak memiliki panggung, banyak di antara mereka berpindah ke profesi lain, dan di masa tuanya kerap menemui kesulitan hidup (Djumantri, 2005). Lantas, apa yang dapat kita-millennials lakukan sebagai solusi sekaligus dorongan terhadap tiga komitmen tersebut?

Negeri Sakura dan Zamrud Khatulistiwa

Jepang justru menjadikan budaya tradisional sebagai nafas utama Ekraf, yang kini fokus pengembangannya tidak lagi pada manufaktur-produktivitas, tetapi telah bergeser ke bagaimana memelihara kreativitas dan budaya. Di Jepang, industri kerajinan tradisional menjadi sumber kreativitas dengan banyak pengetahuan dan keterampilan, dan bahkan telah disesuaikan dengan produk dan pasar baru (Oyama, 2015). Melalui wacana “Cool Japan”, kini budaya populer Jepang membanjiri setiap sudut dunia, dalam bentuk anime, manga, dan game. Cool Japan merupakan bentuk lain nasionalisme, yang merevitalisasi semangat masyarakat Jepang sebagai bangsa adidaya kebudayaan. Hal ini juga tidak lepas dari akar kebudayaan Jepang yang kuat di masa lampau, semisal sastra klasik Genji Monogatari dalam gulungan emaki. Namun jika demikian halnya, Indonesia juga memiliki Jaka Kembang Kuning dalam gulungan Wayang Beber. Kebudayaan kita jelas tidak kalah kaya.

Wayang Topeng Malangan Padepokan Asmorobangun

Cukup bangga rasanya menyaksikan Gatotkaca menjadi hero di game Mobile Legend. Karakter hero ini merupakan adaptasi dari karakter Gatotkaca dalam komik Garudayana Saga karya Is Yuniarto, yang mengangkat epos Mahabarata. Momentum popularitas konten semacam ini hendaknya dapat segera direspon oleh sektor Ekraf yang lain. Survey Asosiasi Game Indonesia (AGI), menyatakan bahwa pada 2030, Indonesia diprediksi akan menjadi top 5 game market di seluruh dunia dengan revenue USD 4,3 miliar. Namun dari 100% pangsa pasar game di Indonesia, game developer lokal hanya berperan 0,4% saja (Al Birra, 2019). Artinya, Indonesia terancam hanya menjadi pasar, padahal dengan putaran bisnis esport 9,8 T, dan potensi sebesar 11-24 T selama 3 tahun ke depan, seharusnya e-sport menjadi bisnis yang menjanjikan, dan juga peluang bagi pemuda Indonesia untuk berprestasi di Asian Games (Widiartanto, 2018). Apalagi penyerapan tenaga kerja pada sub- sektor ini tergolong tinggi. Dalam satu perusahaan game developer saat ini dapat terdiri dari 139 orang tenaga kerja lokal (Bekraf, 2019).

Kolaborasi: Disruptive Innovation

Meski pertumbuhan 16 sub-sektor Ekraf masih kurang merata, masih terbuka kemungkinan kolaborasi antar sub-sektor. Kita masih memiliki potensi besar hingga tahun 2030, untuk itu, hendaknya kita belajar dari strategi Cool Japan. Ekosistem aplikasi dan game developer memang belum stabil, namun 12.441 perusahaan dalam sub-sektor ini digerakkan oleh para pemuda berusia rata-rata 20-24 tahun. Sejauh ini bantuan pemerintah terhadap pelestarian seni dan budaya tradisional, bersifat sustaining innovation, berupa pagelaran seni, festival, lomba, dan sebagainya, dengan existing market dan mata rantai nilai yang sudah ada. Perjumpaan game developer dengan sanggar seni tradisional dalam sebuah tim pengembang, menurut saya berpeluang menghasilkan disruptive innovation, berupa produk game berbasis seni dan budaya tradisional. Dalam tahap pengembangan game seturut Adams (2004:203-216) yakni: 1) Concept Development; 2) Preproduction; 3) Development; 4) Alpha; 5) Beta; 6) Code Freeze; 7) Release; 8) Patch; dan 9) Upgrade, sanggar seni tradisional dapat banyak berperan pada tahap 1 dan 2, seperti merumuskan concept, gameplay, story, dan character design. Tahap selanjutnya, game developer lebih banyak berperan. Dengan demikian, produk yang dikembangkan memiliki pasar lebih luas, yakni akumulasi existing market dari keduanya. Seni dan budaya tradisional lestari dalam medium baru, sedangkan game developer lebih inovatif dari segi konten.

Program kolaboratif semacam ini dapat diinisiasi oleh siapapun dalam beragam situasi. Semisal oleh coworking space, Pemda, swasta melalui CSR, universitas melalui kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat, atau bahkan inisiatif mandiri game developer. Bentuknya dapat beragam, berupa project jangka pendek, workshop, atau start up, yang tentu dilakukan dengan jadwal dan manajemen proyek yang ketat, serta akuntabilitas tinggi terkait kebijakan finansial. Dengan prinsip resource sharing, kebutuhan SDM, infrastruktur, dan pembiayaan dilakukan kedua belah pihak secara proporsional. Menurut saya, kolaborasi ini efektif untuk menekan disparitas antar sub-sektor Ekraf Indonesia. Di samping sebagai solusi, program kolaboratif ini juga merupakan langkah awal pemuda terhadap tiga komitmen visi Indonesia 2045 yang sudah saya ungkapkan sebelumnya, yakni identitas bangsa dalam pembangunan, pengembangan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal, dan daya saing global yang berakar pada budaya daerah. Seiring dengan proyeksi negara berkekuatan ekonomi terbesar ke-5 di dunia pada tahun 2030, dan juga visi 2045, Indonesia ibarat sebuah pohon yang menjulang tinggi, tentu membutuhkan akar yang menghunjam dalam.

Daftar Rujukan

Adams, E.2004, Fundamentals of Game Design. Third Edition, New Riders

Al Birra, F.(Ed.). 2019, Indonesia Masih Jadi Pasar, Industri Game Lokal Sulit Maju, www.jawapos.com, 10 Juli 2019.Diakses 16 Desember 2019.

Bekraf.2019,Opus Creative Economy 2019, Bekraf, Jakarta.

Conference of Indonesian Diaspora Youth.2018, Visi Indonesia 2014, 13-15 Agustus 2018. https://www.diasporayouth.info/. Diakses 20 Desember 2019.

Djumantri, M.2005,Ruang Untuk Masyarakat Lokal Tradisional (Masyarakat Adat) yang Semakin Terpinggirkan.

Oyama, S.2015.Japanese Creative Industries in Globalization, dalam Hjorth, O., dan Khoo, O. (Eds.),Routledge Handbook of New Media in Asia, Routledge, London. pp.322-332

Widiartanto, Y.H.2018, Potensi Industri Game Indonesia Rp 11 Triliun, www.kompas.com, 21 Maret 2018,diakses 16 Desember 2019.

*) Tulisan ini juga dimuat di https://konfirmasitimes.com/2020/03/27/mengakar-menjulang-lebih-tinggi/

Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka  Segera Daftar Sekarang.

TOP