Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: [email protected]. Terima Kasih!
Official Website Universitas Ma Chung.
T : (0341) 550 171
Email: [email protected]
Universitas Ma Chung
Villa Puncak Tidar N-01, 65151, Malang, IND
M Afnani – beritajatim17 Juli 2025 | 18:52
Malang (beritajatim.com) – Malang terasa sangat dingin di Juli ini. Seperti lazimnya pertengahan tahun. Jangan di luar, di dalam ruangan pun kulit terasa adem yang menusuk. Tak hanya malam, udara yang bikin menggigil pun bisa dirasakan di siang hari.
Namun, hal itu sepertinya tidak akan terasa saat senja pada 26-27 Juli 2025 nanti. Apa sebab? Anak-anak muda bakal kumpul di pelataran Open Theatre Universitas Ma Chung. Mereka pasti tak mau melewatkan momen berjingkrak dan berdendang bersama ditemani dentum suara betotan senar bass dipadu lengking genjrengan gitar elektrik dari grup musik pop sekelas HiVi!
Sementara di sudut lain, simbal yang beradu ritmis dan tambur yang bertalu-talu mengiringi liukan singa lincah berwarna-warni. Ada makhluk astral dalam tradisi Tionghoa sedang menari lincah. Barongsai namanya, melambangkan nilai luhur di masa lalu.
Pemandangan ini bukanlah fantasi, melainkan sebuah cetak biru dari perhelatan akbar yang tengah disiapkan: Chinese Indonesian Festival (ChiFest) 2025. Sebuah momen yang dihelat Universitas Ma Chung tidak sekadar festival. Mereka melakukan sebuah eksperimen kebudayaan yang ambisius: laboratorium sosial di ruang terbuka.
ChiFest adalah sebuah ikhtiar sadar untuk meramu tradisi dengan budaya populer, sebuah upaya menavigasi lanskap hibriditas budaya yang kompleks untuk menegosiasikan kembali makna menjadi Tionghoa di Indonesia hari ini. Ini adalah usaha merajut masa depan dengan benang yang ditarik dari masa lalu dan masa kini.
Arsitektur Festival: Tiga Pilar dalam Satu Visi
Untuk memahami skala dan kedalaman visi ini, kita perlu membedah arsitektur festival yang dirancang dengan cermat oleh Ketua Pelaksana, Erica Adriana, S.E., M.M., bersama timnya. Festival ini berdiri di atas tiga pilar utama yang saling menopang, masing-masing merepresentasikan satu aspek dari misi hibriditas tersebut.
Pilar pertama adalah The X – Tiong Hoa Art & Culture Expo. Ini bukan sekadar pameran. Ini adalah sebuah ruang kuratorial yang dirancang untuk membuka pintu ke dalam kekayaan budaya Tionghoa yang seringkali hanya dilihat dari permukaan. “Kami akan menampilkan pameran lukisan dan fotografi dari karya seniman Tionghoa yang sebenarnya sudah ada karyanya, tapi tidak terlalu kelihatan,” jelas Erica.
Pengunjung akan diajak berjalan melintasi karya seni, dari sapuan kuas kaligrafi klasik hingga potret-potret kontemporer yang mengeksplorasi identitas Tionghoa-Indonesia. Lebih dari itu, panitia berupaya menghadirkan aspek budaya yang bisa dirasakan langsung.
“Ada rencana untuk memperkenalkan akupunktur, ada Traditional Chinese Medicine, sehingga pengunjung bisa berinteraksi dengan budaya Tionghoa itu secara langsung,” tambahnya. Interaksi ini adalah kunci untuk memanusiakan budaya, mengubahnya dari objek menjadi pengalaman.
Pilar kedua, yang menjadi magnet utama, adalah Asian Music and Custom Festival. Di sinilah elemen pop dalam formula hibriditas ini diekspos secara maksimal. Puncaknya adalah penampilan bintang tamu nasional, HiVi!, yang musiknya telah menjadi bagian dari soundtrack kehidupan banyak anak muda Indonesia.
Namun, panggung ini juga akan diramaikan oleh talenta lokal dan berbagai genre, mulai dari DJ Norebang yang populer dengan klub karaoke Konoha-nya, hingga penampilan grup idola dan parade band mahasiswa. Unsur hibriditas semakin dipertegas dengan adanya Asian Costume Parade, di mana pengunjung diundang untuk datang mengenakan kostum dari berbagai budaya Asia, menciptakan karnaval visual yang merayakan keberagaman.
Pilar ketiga adalah Food Bazaar dan Ruang Komunitas. Dengan target lebih dari 50 stan, pilar ini menjadi perekat sosial festival. Di sini, aroma sate berpadu dengan wangi dimsum, menciptakan dialog rasa nusantara dan Asia.
Namun, detail terpenting terletak pada sebuah keputusan sadar: pemisahan yang jelas antara zona makanan halal dan non-halal. Keputusan ini mungkin terlihat teknis, namun secara simbolis ia merupakan pernyataan kuat tentang inklusivitas dan penghormatan dalam sebuah masyarakat plural. Ini adalah cara ChiFest mengatakan, “Semua orang diterima di sini, dengan identitas dan keyakinan masing-masing.”
Di Balik Panggung: Misi Menepis Stigma dan Merajut Persahabatan
Jika ketiga pilar tadi adalah apa dari ChiFest, maka pertanyaan mengapa-nya jauh lebih dalam, menyentuh relung-relung sejarah dan memori kolektif bangsa. Erica Adriana, dalam penjelasannya, berulang kali menyentuh sebuah titik sensitif: warisan sejarah yang tidak selalu indah.
“Kalau berbicara soal etnis Tionghoa, kan Indonesia tidak hanya memiliki memori yang baik ya, juga ada yang kelam,” sebuah pengakuan jujur yang menjadi titik berangkat festival ini. Bagi Erica dan Universitas Ma Chung, ChiFest adalah sebuah jawaban, sebuah sikap proaktif.
“Namanya sejarah, kita tidak bisa rewrite, kita tidak bisa balik. Tetapi dengan adanya ini, harapan kita, kita bisa membangun persahabatan yang lebih baik untuk masa depan yang lebih baik,” ujarnya dengan suara mantap. Kalimat ini adalah jantung dari seluruh perhelatan.
Festival ini menjadi sebuah ikhtiar untuk membongkar stereotip budaya Tionghoa yang sering dianggap eksklusif, kadang juga dipandang tertutup.
Erica menjelaskan bahwa komunitas Tionghoa-Indonesia telah berkontribusi signifikan pada ekonomi dan bahkan kemerdekaan, namun kekayaan budaya dan sejarahnya seringkali bersifat ‘inklusif’ (tertutup bagi komunitasnya sendiri). “Harapannya dengan acara ini, membantu masyarakat luas melihat bahwa budaya Chinese Indonesia itu tidak bersifat eksklusif, tapi mau menjadi bagian dari bangsa Indonesia juga,” katanya.
Keputusan untuk melakukan rebranding dari ‘Festival Kampung Pecinan’, yang telah berjalan lebih dari lima tahun menjadi ‘ChiFest’ juga merupakan langkah strategis. Perubahan nama ini menandakan pergeseran dari citra yang mungkin berkonotasi nostalgia dan terkurung di satu lokasi (pecinan), menjadi sebuah jenama yang lebih modern, terbuka, dan berorientasi pada festival (Fest). Ini adalah cerminan dari semangat hibriditas itu sendiri: menghormati warisan Kampung Pecinan sambil merangkul format Fest yang lebih kontemporer.
Lensa Akademik: Membedah Politik Hibriditas Budaya
Upaya Universitas Ma Chung ini mendapatkan landasan teoritis yang kokoh dari para akademisinya. Anggrah Diah Airlinda, S.S., MTCSOL., sebagai pakar budaya Tionghoa, memberikan lensa analitis untuk membaca fenomena ChiFest. Ia secara lugas menyebutnya sebagai praktik hibriditas budaya.
“Penggabungan barongsai dan HiVi! bukan kontradiksi, melainkan cermin dari semangat yang ingin menampilkan budaya Tionghoa yang menonjol sekaligus juga terbuka terhadap perkembangan zaman,” jelas Anggrah.
Ia melihatnya sebagai sebuah strategi inovatif untuk menjembatani tradisi dengan modernitas, sebuah cara agar pelestarian budaya tidak menjadi fosil yang terkungkung dalam bentuk-bentuk lama.
Lebih dalam, Anggrah menguraikan makna simbolik barongsai yang mungkin luput dari perhatian generasi muda. “Secara tradisional, barongsai itu representasi simbolik dari lambang kekuatan yang menaklukkan roh jahat. Ada filosofi di balik ritmenya, keseimbangan tubuh, kerja tim, serta keselarasan antara musik dan gerak,” paparnya.
Tanpa komunikasi makna ini, barongsai hanya akan menjadi tontonan atraktif tanpa jiwa. Dengan menyandingkannya bersama HiVi!, ada harapan audiens yang datang untuk musik pop akan terpapar pada kekayaan filosofis ini.
Tanpa komunikasi makna ini, barongsai hanya akan menjadi tontonan atraktif tanpa jiwa. Dengan menyandingkannya bersama HiVi!, ada harapan audiens yang datang untuk musik pop akan terpapar pada kekayaan filosofis ini.
Universitas, dalam pandangan Anggrah, memiliki peran ganda yang strategis. Pertama, di ranah akademik, sebagai “wadah warisan budaya itu diteliti, didokumentasikan, dan juga dikembangkan”. Kedua, di ranah sosial-kultural, sebagai “ruang interaksi di mana budaya tidak hanya diajarkan secara kognitif, tetapi juga dialami secara emosional dan sosial”. Keberadaan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Wushu dan Chinese Corner di Ma Chung menjadi bukti bahwa peran ini telah dijalankan secara berkelanjutan.
Suara dari Kampus: Gema Hibriditas di Kalangan Mahasiswa
Lalu, bagaimana formula hibrida ini diterima oleh konsumen-nya? Gema dari kalangan mahasiswa menunjukkan resonansi yang positif. Maria Kristi, mahasiswi Manajemen, melihatnya sebagai perwujudan dari falsafah yang ditanamkan di kampusnya.
“Di Ma Chung, kami ditekankan untuk tidak lupa akan asal-usul kita, tidak lupa akan mata air yang kita minum. Makanya akulturasi itu sangat penting,” tuturnya. Baginya, ini adalah cara agar warisan leluhur tidak dianggap “ketinggalan zaman”.
Kelvin Hermawan, rekannya, memberikan pandangan yang pragmatis namun penuh harapan. Ia sadar betul bahwa magnet utama bagi teman-temannya mungkin adalah HiVi!.
“Anak-anak muda sekarang lebih tertarik ke HiVi! karena barongsai mungkin di pandangan mereka sudah kuno,” akunya. Namun, ia tidak melihatnya sebagai masalah, melainkan peluang. “Dengan digabungkan, itu mungkin bisa membuka pikiran anak muda kalau budaya Tionghoa itu luas dan tidak kuno-kuno banget”.
Menariknya, keterlibatan mereka tidak hanya sebagai penonton. Sebagai mahasiswa Manajemen, mereka diwajibkan untuk membuka stan di bazar ChiFest sebagai bagian dari mata kuliah Kewirausahaan.
Maria akan menjual Pancake Moza, sementara Kelvin memiliki jenama minuman kopi. Detail ini menunjukkan bahwa hibriditas di Ma Chung tidak hanya terjadi di panggung utama, tetapi juga meresap ke dalam kurikulum, memadukan teori bisnis dengan praktik festival budaya.
Filosofi Gerak di Arena Modern: Suara Pegiat Wushu
Selain Barongsai, pilar tradisi ChiFest juga ditegakkan oleh seni gerak Wushu. Di sini, suara datang dari Maxell Yosafat, mahasiswa semester akhir Pendidikan Bahasa Mandarin yang juga seorang atlet, pelatih, dan juri Wushu. Baginya, ChiFest adalah fasilitas vital untuk melestarikan seni hidup yang telah membentuk karakternya.
“Wushu itu yang mengajarkan saya untuk menghargai warisan budaya leluhur, juga bisa menghormati dari orang yang lebih tua,” kata Maxell. Ia menolak mentah-mentah cap kuno yang sering dilekatkan pada Wushu. Menurutnya, gerakan Wushu terus berevolusi.
“Gerakannya juga sudah mulai diadaptasi ke seni yang lebih modern,” ujarnya. Tantangannya, kata dia, adalah membuat seni bela diri ini terlihat seru di mata anak zaman sekarang, yang kerap hanya melihat tontonan tanpa menggali manfaatnya.
Mengenai potensi kolaborasi dengan musik pop HiVi!, Maxell jujur mengakui adanya tantangan. “Dari mata kita aja sudah kurang pas,” katanya sambil berpikir. Namun, ia tak menutup kemungkinan. Keduanya adalah seniman, satu di ranah musik, yang lain di ranah gerak. Mungkin ada nilai-nilai yang bisa disatukan.
Dalam penampilannya di ChiFest nanti, Maxell dan timnya ingin menekankan nilai kebersamaan. “Kita itu jatuh bangun selalu bersama, saling menguatkan, saling mendukung. Kita sama-sama berjalan, nggak boleh ada salah satu yang ketinggalan,” tuturnya.
Ia ingin menyampaikan bahwa Wushu bukan sekadar gerakan atraktif, melainkan sebuah filosofi hidup tentang ketekunan dan kesatuan. “Kita yang sekarang, yang nanti akan tampil itu, itulah hasilnya kita yang sebelumnya,” katanya, merujuk pada latihan berbulan-bulan di balik satu penampilan singkat.
Denyut Nadi Ekonomi di Pesta Budaya: Kisah dari Stan UMKM
Panggung budaya ChiFest terbukti menjadi magnet yang menarik denyut nadi ekonomi. Bagi para pelaku UMKM, acara ini adalah pasar yang terkurasi dengan ceruk konsumen yang jelas, sebuah simbiosis mutualisme yang nyata.
Ferryanto Irawan, pemilik GL8 Resto Kawi & Frozen Food, sebuah jenama yang fokus pada produk non-halal (B2), memilih ChiFest karena kesesuaian target pasar yang spesifik. “Alasan kami untuk mengikuti ChiFest ini adalah satu, kita mau maintain pelanggan dan mengingatkan kembali bahwa ada merek G8 di Malang,” katanya. Tujuan jangka panjangnya adalah membangun brand awareness di kalangan mahasiswa, yang ia lihat sebagai calon pelanggan di masa depan.
Bagi Ferryanto, model kolaborasi antara universitas, mahasiswa, dan UMKM adalah jawaban atas tantangan persaingan yang ketat. “Jawaban kami adalah iya, karena tanpa acara seperti ini kita sendiri juga harus door to door,” ujarnya, mengamini bahwa ChiFest adalah contoh nyata dari dampak kolektif.
Hal senada diungkapkan Dhea Eka Safitri, pemilik Tahwa Ronde Mas Agus & Sari Kedelai Ku. Usahanya yang legendaris sejak 1998 memiliki produk yang sangat akrab di lidah komunitas Tionghoa. “Maka dari itu munculnya acara ChiFest ini membuat kami tertarik untuk bergabung,” katanya.
Ia merasakan efisiensi saat berjualan di ChiFest. Pengunjungnya sudah paham produk yang ia tawarkan tanpa perlu penjelasan panjang lebar. Berdasarkan pengalamannya di tahun sebelumnya, omzetnya terbukti “laris manis, Alhamdulillah”.
Harapan terbesarnya adalah agar produk tradisionalnya dapat terus bersaing dengan jajanan modern, dan festival ini dapat membuka inspirasi untuk inovasi baru.
Visi Institusional: Sinergi dalam Ekosistem Lebih Besar
ChiFest bukanlah sebuah acara yang berdiri sendiri. Ia adalah salah satu simpul penting dalam jejaring visi institusional yang lebih besar, seperti yang dipaparkan oleh Rektor Universitas Ma Chung, Prof. Dr. Ir. Stefanus Yufra Menahen Taneo, M.S., M.Sc. Baginya, setiap inisiatif, baik itu riset guru besar, pemberdayaan UMKM, maupun festival budaya, harus terintegrasi dalam satu filosofi tunggal: ‘sinergi dan kolaborasi untuk pertumbuhan yang berkelanjutan’ : ‘Collective Impact for Sustaining Growth,’.
Prof. Yufra menjelaskan bagaimana universitas terus bergerak, dari mengembangkan Fakultas Ilmu Kesehatan dengan fokus pada traditional medicine melalui kerjasama dengan Tiongkok, hingga berkolaborasi intensif dengan pemerintah daerah untuk pemberdayaan UMKM.
“Kami lebih dari 10 tahun dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UMKM untuk membangun UMKM,” ungkapnya.
Setiap guru besar pun didorong untuk membentuk professorship atau tim penelitian yang membawa dampak nyata, dari bidang human-machine interaction hingga perilaku konsumen. Dalam ekosistem ini, ChiFest berfungsi sebagai platform sinergi budaya, media diplomasi publik, sekaligus sarana untuk memperkuat nilai-nilai multikultural yang menjadi fondasi universitas.
Pada akhirnya, saat senja benar-benar turun di Malang pada 27 Juli mendatang dan nada terakhir dari HiVi! mengawang di udara, yang tersisa bukan hanya gema musik. Yang tertinggal adalah jejak sebuah ekosistem yang hidup, di mana tradisi menemukan relevansinya, di mana anak muda menemukan panggungnya, dan di mana budaya menjadi bahan bakar bagi pertumbuhan yang terus berputar. Sebuah festival yang membuktikan bahwa untuk merajut masa depan, kadang yang dibutuhkan hanyalah sebuah panggung bersama. [dan/beq]
Link berita asli di sini
Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka Segera Daftar Sekarang.