CARA MENDAFTAR

1 Kunjungi pmb.machung.ac.id.
2 Lengkapi Data.
3 Tunggu Email Konfirmasi

Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: [email protected]. Terima Kasih!

Jadwal Buka ADMISI UMC

Senin-Jumat 8:00AM - 5:00PM

Pemeringkatan Universitas, Antara Kompetisi Global dan Ketimpangan Akademik

by Humas Universitas Ma Chung / 10 March 2025 / Published in Machung

Oleh: Prof. Dr. Daniel Ginting dan Prof. Dr. Ida Ayu Made Sri Widiastuti, S.Pd., M.Pd., M.Hum.
Mar 10, 2025 – 13:43

Suatu ketika saat kami berkunjung ke sebuah perguruan tinggi untuk menjalani asesmen lapangan, tanpa sengaja kami membuka beberapa website. Dari situ muncullah informasi tentang pemeringkatan universitas di dunia, seperti QS World University Rankings, Times Higher Education (THE), dan Academic Ranking of World Universities (ARWU).

Nama-nama universitas ternama seperti Harvard, Oxford, dan MIT mendominasi posisi teratas, sementara banyak universitas dari negara berkembang berada jauh di bawah atau bahkan tidak masuk dalam daftar. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah pemeringkatan ini benar-benar mencerminkan kualitas pendidikan tinggi secara keseluruhan, atau justru menciptakan hierarki akademik yang semakin memperlebar kesenjangan antar institusi?

Lebih jauh lagi, bagaimana pemeringkatan ini memengaruhi kebijakan universitas, pilihan mahasiswa, serta strategi negara dalam membangun reputasi akademiknya? Esai ini akan membahas dampak pemeringkatan universitas, baik dari segi manfaat maupun tantangan yang ditimbulkannya bagi dunia pendidikan tinggi global.

Pemeringkatan sebenarnya topik yang masih banyak diperdebatkan, misalnya terkait dasar pemilihan indikator, bobot, dan metode, termasuk keakuratan dan relevansi perhitungannya. Intinya pemeringkatan ini masih kontroversial. Sebenarnya tujuan awal dari hasil pemeringkatan adalah transparansi tentang kinerja pendidikan tinggi sehingga semua pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah, institusi akademik, mahasiswa, dan industri, dapat mengakses informasi secara objektif mengenai kualitas universitas berdasarkan hasil pemeringkatan tersebut.

Pemeringkatan universitas, seperti Academic Ranking of World Universities (ARWU – Shanghai Ranking), U.S. News & World Report (USNWR), dan Quacquarelli Symonds World University Rankings (QS WUR), memiliki tujuan yang berbeda. ARWU, misalnya, bertujuan untuk mengukur posisi universitas Tiongkok dibandingkan dengan pemimpin global. USNWR dibuat untuk membantu calon mahasiswa dan akademisi memilih universitas berdasarkan reputasi akademik dan produktivitas riset. Sementara itu, QS WUR bertujuan untuk menginformasikan mahasiswa mengenai keunggulan universitas dalam aspek akademik, pengalaman belajar, dan kesesuaian dengan kebutuhan industri kerja.

Pengimbasan dari hasil pemeringkatan menimbulkan beberapa reaksi. Beberapa kampus merasa terdorong untuk melakukan transformasi kelembagaan yaitu dengan cara mengadaptasi standar dari sistem pemeringkatan untuk memastikan peningkatan posisi mereka.

Reaksi lain adalah ternyata pemeringkatan berpengaruh pada persepsi mahasiswa dan akademisi. Misalnya, banyak di antara calon mahasiswa memilih universitas berdasarkan peringkat dan mengasosiasikan hasil pemeringkatan itu dengan kualitas pendidikan, prospek karier, dan bahkan status sosial.

Terakhir, ada hasil pemeringkatan ternyata semakin menguatkan rivalitas antar perguruan tinggi di mana mereka berlomba-lomba untuk mencapai hasil pemeringkatan tertentu dengan harapan bisa memperkuat reputasinya di level nasional bahkan di level global.

Dalam pandangan Gramsci, pemeringkatan telah menjadi bagian dari hegemoni, di mana standar tertentu mengenai kualitas universitas diterima sebagai norma yang tidak dipertanyakan. Peringkat universitas membentuk citra kualitas pendidikan tinggi yang diterima begitu saja oleh publik yaitu semakin dipandang sebagai pusat keunggulan intelektual, menarik investasi, kerja sama internasional, serta membangun pengaruh budaya dan diplomasi pendidikan.

Citra elitisme ini, menurut Hirsch, membuat mereka sebagai aset eksklusif yang sulit ditandingi. Pada gilirannya, mahasiswa dan akademisi berlomba-lomba mendapatkan akses ke universitas elite ini karena statusnya berkontribusi terhadap mobilitas sosial dan peluang karier yang lebih baik (Matthew Effects).

Sebagai gate-keepers, universitas elite memiliki kendali atas akses ke peluang sosial dan profesional yang prestisius. Lulusan mereka lebih mudah mendapatkan pekerjaan di posisi strategis, memperoleh pendanaan penelitian, serta membangun jaringan dengan para pemimpin industri dan akademisi ternama. Karena sumber daya dan reputasi mereka terus meningkat, universitas-universitas ini semakin sulit digeser oleh institusi lain yang berusaha naik peringkat.

Menurut Bourdieu, universitas yang memiliki peringkat tinggi menguasai tiga modal: modal budaya (pengetahuan, gelar akademik, dan kredibilitas ilmiah), modal sosial (jaringan dengan akademisi, industri, dan pembuat kebijakan), serta modal ekonomi(pendanaan riset, beasiswa, dan fasilitas unggulan). Ketiga modal ini memperkokoh posisi mereka di puncak hierarki akademik.

Menurut Frank universitas dalam lingkaran elit akan menjalankan adalah positional arms race: terus meningkatkan investasi untuk mempertahankan atau meningkatkan peringkat mereka, sering kali dengan biaya yang sangat tinggi. Persaingan ini mirip dengan perlombaan senjata (arms race), di mana setiap institusi merasa harus terus meningkatkan sumber dayanya agar tidak tertinggal dari pesaing, meskipun biaya yang dikeluarkan semakin besar dan sering kali tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Kenaikan peringkat satu institusi secara otomatis berarti ada institusi lain yang turun peringkat. Hanya ada sejumlah posisi terbatas di puncak, sehingga peningkatan satu universitas hanya bisa terjadi Menurut Hirsch dengan konsep zero-sum game-nya.

Joseph S. Nye (2004), seorang ilmuwan politik dari Harvard University, mengatakan universitas menjadi alat soft power yaitu kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi pihak lain tanpa paksaan, tetapi melalui daya tarik budaya, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri yang dianggap sah dan menarik. PT menjadi instrumen soft power yang digunakan untuk memperkuat posisi suatu negara dalam percaturan global untuk memperkuat hubungan diplomatik dan meningkatkan kerja sama global.

Negara lain menganggap negara tertentu dengan PT yang memiliki peringkat global tertinggi adalah sebagai pusat keunggulan intelektual dan inovasi di mana akan semakin banyak mahasiswa dan akademisi internasional, dan bahkan investor masuk ke negara itu untuk belajar, melakukan penelitian dan membangun investasi melalui kerja sama akademik.

Menurut Foucault, Gramsci, Sauder & Espeland, Becker, serta Bastedo & Bowman pemeringkatan bukan sekadar alat evaluasi akademik, tetapi juga instrumen kontrol yang mengatur perilaku universitas dan pemangku kepentingan atau sebagai bentuk disiplin sosial, di mana universitas secara tidak langsung ditekan untuk mengikuti standar pemeringkatan.

Akibatnya, universitas secara internal merasa seolah-olah ada beban kewajiban untuk menyesuaikan diri “nilai-nilai” peringkat global tersebut. Ada arus desakan homogenisasi sistem pendidikan tinggi di mana universitas di seluruh dunia dipacu untuk berlomba untuk meniru model yang diterapkan oleh universitas yang sudah mapan.

Apa sikap kampus dalam menghadapi norma elitisme akademik global seperti ini? Cukup menarik memperhatikan reaksi kampus-kampus di luar lingkaran norma elitis dari pemeringkatan. Ada kampus yang masih bersikeras untuk menyamai standar pemeringkatan global dengan meniru praktik universitas top dunia, terutama yang berbasis di negara-negara Barat. Mereka mengalokasikan sumber daya besar untuk mencapainya yang mana pendekatannya ini sering kali didorong oleh ambisi nasional untuk meningkatkan daya saing global dan memperkuat reputasi akademik negara di kancah internasional.

Kampus dari kelompok lain karena menyadari keterbatasan sumber daya akhirnya masih tetap berusaha menyesuaikan diri. Namun mereka tidak berambisi mengejar peringkat tertinggi. Sebaliknya mereka berupaya meningkatkan standar tertentu yang masih dalam jangkauan seperti memperkuat riset dalam bidang unggulan, membangun kemitraan akademik yang relevan, serta meningkatkan kualitas pengajaran.

Kampus yang terakhir, bukan karena tidak peduli, tetapi karena keterbatasan sumber daya yang membuat mereka sulit bersaing, memilih sikap pasif dalam menghadapi pemeringkatan. Dalam kondisi seperti ini, pemeringkatan dianggap sebagai sesuatu yang jauh dari jangkauan, sehingga mereka lebih memilih fokus pada kelangsungan operasional sehari-hari.

Alih-alih berupaya meningkatkan kualitas riset atau membangun kemitraan internasional, universitas-universitas ini lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar akademik, seperti memastikan perkuliahan tetap berjalan, membayar gaji dosen, dan mempertahankan jumlah mahasiswa agar tetap stabil. (****)

Prof. Dr. Daniel Ginting adalah guru besar Universitas Ma Chung, Prof. Dr. Ida Ayu Made Sri Widiastuti, S.Pd., M.Pd., M.Hum. adalah guru besar Universitas Mahasaraswati Denpasar.

Editor: Wadji

Link berita asli di sini.

Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka  Segera Daftar Sekarang.

TOP