Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: [email protected]. Terima Kasih!
Official Website Universitas Ma Chung.
T : (0341) 550 171
Email: [email protected]
Universitas Ma Chung
Villa Puncak Tidar N-01, 65151, Malang, IND
Oleh: Antono Wahyudi )*
Jul 1, 2025 – 07:01
Seperti biasa, lima hingga sepuluh menit sebelum kelas berakhir, saya membiasakan mahasiswa untuk melakukan refleksi tentang kehidupan. Suatu ketika, saya bertanya kepada mereka: apa itu sukses? Adakah definisi sukses yang hakiki dan universal, yang berlaku sama bagi siapa pun?
“Sukses itu kalau kita sudah punya apa yang kita inginkan,” jawab seorang mahasiswa.
Saya tersenyum. “Memangnya apa yang kalian inginkan?”
Serentak mereka menjawab:
“Kaya, Pak!”
“Punya rumah besar dan mobil mewah!”
“Financial freedom!”
“Jadi, apakah kita bisa menilai kesuksesan seseorang dari kekayaan yang dimilikinya?” saya konfirmasi.
“Iya dong, Pak! Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang!” jawab seorang mahasiswa penuh keyakinan.
Tiba-tiba seorang mahasiswa lain menyela, “Saya kurang setuju. Menurut saya, uang tidak bisa didapat tanpa jabatan atau posisi strategis. Bagaimana mungkin sukses kalau kita hanya pegawai biasa?”
“Jadi kesimpulannya?” tanya saya.
“Ukuran sukses adalah jabatan, Pak! Kalau kita punya jabatan tinggi, uang akan datang dengan sendirinya.”
Jawaban itu disambut tepuk tangan dan sorakan teman-temannya.
“Kereeen!”
“Setuju bingitz!”
“Menyala abangkuuu!”
Namun saya tak ingin refleksi berhenti di titik itu. Saya pancing lagi:
“Apakah saya bisa dikatakan sukses jika menjabat sebagai manajer? Atau harus menjadi direktur atau CEO agar dianggap sukses?”
“Menurut saya, harus jabatan tertinggi, Pak! Kalau hanya direktur, ya belum sukses. Gajinya tetap lebih kecil dari pemilik perusahaan.”
Saya melanjutkan, “Bagaimana jika pemilik perusahaan A kekayaannya lebih kecil dibanding pemilik perusahaan B? Apakah itu berarti pemilik A belum sukses?”
“Kalau ukurannya jabatan dan kekayaan, ya betul, Pak. Belum sukses.”
“Jadi, sukses adalah ketika menjadi orang nomor satu. Tapi nomor satu dari mana? Satu perusahaan, satu negara, atau seluruh dunia? Kalau harus jadi yang nomor satu dari delapan miliar manusia di bumi, mungkinkah itu?”
Suasana kelas mendadak hening. Sorot mata mereka seperti sedang tersadar. Mereka mulai merenungi bahwa apa yang selama ini diyakini, bahwa sukses itu soal jabatan dan kekayaan, ternyata tidak sesederhana itu.
Tiba-tiba, suara pelan dari sudut kelas terdengar. Seorang mahasiswa introvert yang biasanya diam, berujar:
“Sukses itu kalau kita bisa bahagia, Pak.”
Teman-temannya terdiam. Mereka tahu, mahasiswa ini berasal dari keluarga kaya. Saya pun terkejut, karena ia biasanya hanya bicara bila ditunjuk.
“Mengapa kebahagiaan Anda jadikan ukuran kesuksesan?” tanya saya.
“Segala sesuatu memang butuh uang, Pak. Tapi tidak semua bisa dibeli dengan uang. Kebahagiaan tidak bisa dibeli. Kita bisa jalan-jalan ke Paris atau nongkrong di kafe mewah. Tapi setelah itu? Kita bisa saja tetap sengsara. Obat dari kesengsaraan adalah kebahagiaan, bukan jabatan atau kekayaan.”
Air matanya berlinang. Ia bukan sedang berteori, melainkan menyampaikan pengalaman hidup.
Saya bertanya lagi, “Kalau sukses itu bahagia, lalu apa itu kebahagiaan?”
Jawaban spontan muncul:
“Bahagia itu ya bahagia, Pak.”
“Bahagia itu merasa senang!”
“Bahagia itu ketika sehat!”
Saya menanggapi, “Itu namanya tautologis, definisi yang menjelaskan sesuatu dengan kata-kata yang setara. Tidak memberikan makna baru. Contohnya, ‘jomblo adalah orang yang tidak punya pacar.’ Semua orang juga tahu itu.”
Lalu mahasiswa introvert itu kembali angkat suara,
“Bahagia itu ketika kita merasa nyaman, Pak.”
Saya tanyakan lebih lanjut, “Apa syarat agar kita merasa nyaman?”
Ia berpikir sejenak. “Nyaman itu ya… ketika kita nyaman saja, Pak. Eh… ini tautologis lagi, ya? Waduh, pusing saya!”
Saya tersenyum. Mereka sedang belajar berpikir reflektif. Sayangnya, kebiasaan semacam ini jarang dilatih sejak dini. Pikiran mereka lebih akrab dengan algoritma hiburan daripada kontemplasi filosofis.
Lalu saya simpulkan sementara, “Jadi, sukses adalah bahagia, bukan jabatan atau kekayaan. Tapi jika bahagia itu subjektif, relatif bagi setiap orang, bisakah kita menilai seseorang itu sukses?”
Serentak mereka menjawab, “Tidak bisa, Pak. Hanya dia sendiri yang tahu.”
“Tepat! Kita tidak bisa menilai seseorang sukses atau tidak. Kecuali jika ia sendiri yang mengakuinya. Kita bisa saja mengucapkan ‘selamat atas kesuksesanmu’ sebagai bentuk apresiasi, tapi yang tahu hakikat sukses itu hanya dirinya.”
Namun, saya tidak berhenti di sana.
“Apakah benar kebahagiaan itu semata subjektif? Tidak adakah kebahagiaan yang universal, yang disepakati semua orang, apapun latar belakangnya?”
Saat saya hendak mengungkap jawabannya, terdengar ketukan pintu.
“Maaf mengganggu, Pak Antono, kelas ini sudah waktunya saya gunakan.”
Astaghfirullah! Sudah lebih dari 10 menit lewat dari jadwal!
“Kenapa kalian tidak mengingatkan saya?” tanya saya spontan.
“Maaf, Pak, kami juga tidak lihat jam.”
Rekan dosen itu tersenyum, “Kelas apa sih, Pak? Kelihatannya serius tapi seru!”
“Oh, ini tadi kelas Pancasila, Bu.”
“Tidak masalah, Pak Antono, yang penting happy!”
Kami pun tertawa, dan berpisah dengan rasa hangat di antara tumpukan tanya yang belum selesai dibahas.
)* Penulis adalah dosen Program Studi English for Global & Creative Communication (E-GCC) Fakultas Bahasa, Universitas Ma Chung. Anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).
Link berita asli di sini.
Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka Segera Daftar Sekarang.