CARA MENDAFTAR

1 Kunjungi pmb.machung.ac.id.
2 Lengkapi Data.
3 Tunggu Email Konfirmasi

Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: [email protected]. Terima Kasih!

Jadwal Buka ADMISI UMC

Senin-Jumat 8:00AM - 5:00PM

Ilusi Agama dan Neurosis Sigmund Freud

by Humas Universitas Ma Chung / 10 March 2025 / Published in Machung

Oleh: Antono Wahyudi
Mar 10, 2025 – 13:32

“Jangan kekanak-kanakan! Sebab, agama hanyalah ilusi!” Kira-kira demikianlah yang diucapkan oleh Sigmund Freud, seorang psikolog Austria yang terkenal dengan psikoanalisisnya, jika dirinya masih hidup dan berkomentar di media sosial. Bagi Freud, agama hanyalah salah satu manifestasi perpanjangan kepribadian kanak-kanak (infantil). Anak kecil memiliki keinginan atas apapun yang kerap dianggapnya sungguh-sungguh akan terjadi, kendati sebaliknya; alam pikir dewasa menganggapnya sama sekali tidak realistis.

Demikian halnya dengan orang yang beragama. Agama hanyalah sebuah harapan dan keinginan yang jauh dari kenyataan. Konsep pahala, dosa, surga dan neraka, misalnya, tidak dapat dibuktikan secara realistis. Konsekuensinya, manusia akan sulit mendobrak sekat-sekat teosentrisme untuk keluar dari suatu penderitaan.

Tuhan diinginkan dan diharapkan untuk melindungi manusia dari penderitaan yang sebenarnya sama sekali tidak didukung oleh kenyataan itu sendiri (apa yang sesungguhnya terjadi). Oleh sebab itu, agama adalah ilusi yang dapat melumpuhkan manusia dari upaya dan usahanya untuk bangkit dari penderitaan.

Namun, ilusi agama hanyalah merupakan dampak yang dialami secara tidak disadari oleh manusia “infantil”. Akar persoalan munculnya ilusi agama menurut Freud disebabkan oleh neurosis kolektif. Neurosis dapat dipahami sebagai perasaan dan perilaku aneh/abnormal yang disebabkan oleh pengalaman negatif masa lalu. Misalnya, takut tanpa sebab, tiba-tiba tidak dapat berkomunikasi dengan normal, selalu mencuci tangan, dst.

Akan tetapi, di saat yang sama, bentuk perasaan dan perilaku abnormal tersebut secara logis sama sekali tidak berkaitan dengan pengalaman negatif masa lalunya. Itulah sebabnya, seseorang yang menderita neurotis kerap tidak menyadari bahwa sesungguhnya apa yang dirasakan dan dilakukan itu berkaitan (memiliki kausalitas) dengan pengalaman negatif masa lampaunya. Dan, pada titik tersebut seseorang sulit untuk disembuhkan.

Selanjutnya, berdasarkan kacamata Freud, neurosis juga berkaitan dengan salah satu dimensi kepribadian, yaitu: super-ego. Di dalam super-ego, pengaruh didikan dan asuhan orang tua, dalam hal ini adalah sang ayah, serta kondisi lingkungan pergaulan menentukan kepribadian seseorang. Dalam hal ini, sejalan dengan Feuerbach, agama yang merupakan konstruksi imaji manusia yang telah ada secara kolektif (diyakini dan diterapkan secara masal) dengan sendirinya berfungsi sebagai norma-norma “sang ayah”. Adanya ketakutan terhadap agama sebagai norma-norma “sang ayah” memunculkan perasaan dan perilaku yang dianggap abnormal.

Salah satu bentuk perilaku abnormal di dalam agama adalah melaksanakan perintah dan larangan agama bukan atas dasar pertimbangan rasional atau melakukan demi manfaat diri dan lingkungan sekitarnya untuk mendapatkan berkahNya, melainkan atas rasa “takut” akan hukuman agama (sebagai “sang ayah”) semata. Di sinilah letak ilusi agama bekerja.

Agama secara tidak disadari, setidaknya dengan tidak mengetahui penyebabnya, dipersepsi dengan kualitas seperti norma-norma “sang ayah”. Mengapa “ayah”? Sebab, dalam pengalaman dan analisis Freud, “ayah” mencetuskan ambiguitas figur yang dikagumi sekaligus ditakuti tetapi juga kerap dibenci. Dibenci karena sosoknya yang keras dan tegas sehingga muncul juga ketakutan di dalam dirinya. Dan, dikagumi karena figur tersebut juga hendak ditiru dan diterapkan kepada orang lain.

Orang yang beragama di dalam ilusi dan neurotisme dengan sendirinya menunjukkan tanda-tanda abdormal. Meskipun demikian, tidak semua orang yang beragama defacto menunjukkan ciri-ciri neurotik sama sekali.

Pertama, tidak semua orang yang beragama terjebak pada ilusi dan neurosis yang manifestasinya bertumpu pada ibadah yang bersifat transaksional belaka. Tidak dapat dipungkiri, untuk menyadarkan anak kecil (kesadaran infantil) di dalam menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya tentu sangat efektif dan efisien jika diberikan pemahaman mengenai konsep surga dan neraka (pahala dan dosa). Sebab, ada logika timbal-balik; memberi-menerima dan untung-rugi di dalam kesadaran anak-anak.

Keinginan akan sesuatu yang dapat memuaskan hasratnya (seperti hadiah, bermain, permen, dst) menjadi satu-satunya tujuan yang ada di benak anak kecil. Pola pemahaman seperti demikian jika dipegang teguh hingga dewasa, maka dirinya akan terjebak pada ilusinya sendiri serta memunculkan tanda-tanda neurotik. Ciri-ciri umum orang yang mengedepankan pengharapan timbal balik (pahala dan surga) biasanya lebih mementingkan dirinya sendiri (egois). Sebab, ibadah dimaknai sebagai aktivitas untuk sekedar mengumpulkan dan menumpuk kekayaan pahala sebanyak mungkin agar dirinya dapat masuk ke dalam surgaNya.

Secara ekstrim, ibadah yang bersifat transaksional sebagai salah satu tanda-tanda ilusi dan neurosis juga teridentifikasi dalam radikalisme agama. Membenci, menyakiti dan bahkan membunuh sesama manusia dapat dilakukan sepenuh hati semata demi mendapatkan bidadari surga, setidaknya demi diberlakukannya hukum berbasiskan agama.

Dengan demikian, memahami dan menjalankan agama secara dewasa berarti tidak sekedar mengharapkan surga dan menolak neraka. Peziarahan batiniah (rohaniah) juga mendapatkan tempatnya yang cukup penting. Menegakkan pilar-pilar hubungan vertikal (Ketuhanan) hanya akan dapat berdiri kokoh ketika fondasi hubungan horizontal (kemanusiaan) diperkuat. Freud jelas luput melihat cara orang beragama secara dewasa seperti demikian.

Kelemahan kedua argumentasi Freud adalah bahwa tidak semua orang beragama memiliki ketakutan yang tidak ditempatkan pada tempatnya. Disposisi “takut” memang dapat ditempatkan di dalam paradigma secara berlebihan. Misalnya, takut terhadap Tuhan semata karena hukuman neraka. Hal tersebut jelas berimplikasi pada pola pikir agama yang bersifat kenakan-kanakan, yaitu adanya pengedepanan transaksional di dalam beragama. Pendek kata, dengan sendirinya, dirinya terjatuh pada ilusi agama.

Kedewasaan di dalam beragama menunjukkan bahwa dirinya memang menerima konsekuensi hukuman neraka, dan itu tidak bisa dipungkiri menakutkan dan menyeramkan. Akan tetapi, tingkat spiritualitas-religiusnya tidak berhenti pada disposisi “takut”, melainkan terus dilanjutkan dan diperkaya dengan nilai-nilai yang lebih bersifat positif.

Freud jelas tidak menyadari bahwa di dalam agama juga terdapat orang-orang yang mengendepankan keseimbangan spiritual (tidak semata hanya “takut” akan Tuhan). Keyakinan secara positif seperti; kegembiraan, optimisme keselamatan, kasih sayang Tuhan, semangat perjuangan hidup, dst. menjadi disposisi diri di dalam menjalankan agamanya secara utuh dan menyeluruh.

Konsekuensi logis dari “takut” akan hukuman Tuhan melahirkan sikap neurosis yang memprioritaskan dan mengedepankan hal-hal kecil (partikular) yang bersifat lahiriah dan berada pada tataran permukaan (dangkal). Misalnya, ketakutan yang tidak pada tempatnya membuat dirinya menjadi cemas dengan berkutat semata pada soal sah dan tidak sah.

Orang yang beragama, dengan ketakutan dan kecemasan yang tidak pada tempatnya, secara kekanak-kanakan kerap mempersoalkan gerakan ibadah, bacaan ibadah, pakaian yang layak dipandang agama, dst. Tentu semua itu penting dan tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip agama. Akan tetapi, mereka juga tidak dapat memandang sebelah mata bahwa ada perbedaan penafsiran di dalam memahami hal-hal semacam demikian.

Karena ketakutan yang berlebihan sehingga berimbas terhadap hal-hal yang kecil dan bersifat lahiriah, orang yang beragama seperti demikian kerap bersikap intoleran, pemarah, bengis, senang berteriak “kafir!”, “Tuhan melaknat!”, dst. terhadap mereka yang dianggap menyimpang. Persis sikap tersebut merupakan tanda-tanda orang beragama yang menderita neurosis. Akan tetapi, sekali lagi, Freud tidak dapat sewenang-wenang melakukan generalisir yang berlebihan di dalam memandang agama.

Freud dengan sendirinya gagal menelusuri jenjang kualitas agama. Memang tidak sedikit orang yang beragama telah terjebak di dalam ilusi dan neurotisme. Tetapi, itu tidak berarti bahwa agama itu sendiri adalah sebuah ilusi semata dan semua orang yang beragama menderita neurosis.

Meskipun demikian, ateisme Freud telah membuka mata kita untuk dapat bersikap terbuka (tidak eksklusif) terhadap warna-warni perspektif. Secara tidak langsung, Freud telah mengajarkan kita untuk tidak terjatuh pada sikap puritan. Maksudnya, memandang cara beragamanya yang paling murni dan memaksa baik secara halus maupun kasar terhadap mereka yang dianggapnya tidak murni.

Berdasarkan hal tersebut, dengan tetap mengakui kelemahan-kelemahan ateisme Freud, kita telah mengetahui bahwa ilusi agama hanya dapat berlaku bagi orang yang memandang agamanya secara naif dan picik. Ilusi agama dapat menipu pandangan ketika seseorang tidak melanjutkan perjalanan spiritualnya ke taraf yang lebih mendalam (rohaniah) dan hanya berkutat pada persoalan permukaan (lahiriah). Hal tersebut juga berlaku pada orang yang beragama dengan tanda-tanda neurotisnya.

Pada akhirnya, marilah kita bertanya kepada diri kita masing-masing. Apakah kita masih menggunakan pandangan (ajaran) agama yang kita terima sewaktu kecil untuk diterapkan pada hal-hal yang bersifat substansial dan mendalam? Ataukah ajaran agama sewaktu kecil kita telah diuji kembali, diperkaya, diperluas dan diperdalam seiring dengan bertumbuhnya kepekaan batin dan perubahan dinamika sejarah peradaban umat manusia. (***)

Antono Wahyudi adalah dosen Program Studi English for Global & Creative Communication (E-GCC) Fakultas Bahasa, Universitas Ma Chung. dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Editor: Wadji

Link berita asli di sini.

Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka  Segera Daftar Sekarang.

TOP