Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: info@machung.ac.id. Terima Kasih!
Official Website Universitas Ma Chung.
T : (0341) 550 171
Email: info@machung.ac.id
Universitas Ma Chung
Villa Puncak Tidar N-01, 65151, Malang, IND
Belakangan, manusia mulai menjadi sangat ganas. Sebaliknya, hewan-hewan bertindak dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
13 Agustus 2024 11:12 WIB | 6 menit baca
Belakangan ini, banyak sekali tindakan manusia sangat ganas layaknya hewan buas. Sebaliknya, tak sedikit juga hewan-hewan justru memiliki nilai-nilai kemanusiaan luar biasa. Rasanya, sudah sepantasnya kita belajar dari para binatang.
Kasus anak bunuh orang tua dan orang tua bunuh anak kandung rasanya mulai jamak di negara ini belakangan. Belum lagi kasus-kasus kekerasan yang sungguh tak pernah terpikirkan sebelumnya. Seperti ayah di Pati memerkosa anaknya dan memaksanya suntik KB agar tidak hamil selama berbulan-bulan, pasangan suami istri di Kediri membunuh anaknya karena menyebut anaknya suka berbohong, dan lainnya.
Belum lagi kisah pembantaian massal di Palestina, atau perang tak berkesudahan di Rusia-Ukraina. Seolah, nilai-nilai kemanusiaan mulai dilupakan bahkan ditinggalkan.
Jika dalam kehidupan nyata nilai-nilai kemanusiaan mulai dilupakan, maka tidak demikian dengan kisah-kisah sastra. Di sini, nilai-nilai kemanusiaan terus dipanggungkan bahkan dalam cerita tentang hewan.
Dalam buku Kisah Seekor Camar dan Kucing Yang Mengajarinya Terbang karya Luis Sepulveda (2020), misalnya, kita diajari tentang kesetiaan, persahabatan, teguh pada janji, rasa welas asih, kerja sama, dan cinta lingkungan. Semua nilai-nilai kebaikan (dan tentu saja nilai kemanusiaan) itu mewujud di antara hewan-hewan yang diceritakan. Yaitu seekor kucing hitam, camar, simpanse, dan lainnya.
Luis, penulis yang juga jurnalis asal Chile tersebut menceritakan bagaimana seekor kucing hitam pelabuhan dengan gigih berusaha mewujudkan amanah dari induk camar, untuk menjaga dan mengajari anak camar agar nantinya saat dewasa bisa terbang. Induk camar mati setelah tubuhnya terjebak dengan minyak hitam pekat yang mencemari lautan.
Di sini, kucing hitam berjuang keras melatih anak camar agar bisa terbang. Tentu saja, tidak dengan kekuatannya sendiri. Ia sadar ia tak mampu untuk mewujudkan janjinya pada induk camar tanpa bantuan yang lain. Di sanalah para hewan lain, sahabat di kucing, bekerja sama agar bisa membuat anak camar bisa terbang.
Perjuangan agar anak camar bisa terbang tidaklah mudah. Zorbas harus mencegah tikus-tikus pelabuhan tidak memangsa camar, mencegah agar tuan dan teman-temannya tidak tahu keberadaan anak camar yang disembunyikannya di balkon rumah, hingga bagaimana ia harus melanggar sumpah dan berbicara pada seorang penyair untuk meminta tolong mencarikan tempat terbaik dan memungkinkan anak camar bisa terbang.
Setelah sekian lama berusaha, si kucing pelabuhan, bernama Zorbas, akhirnya bisa mewujudkan janjinya. Meski, harus dibayar dengan rasa ‘kehilangan’. Dengan bantuan teman-temannya, Zorbas akhirnya bisa melihat Fortuna, si anak camar, berhasil terbang di langit malam Hamburg. Si camar terbang dengan bebas, bersama gerimis di mata Zorbas.
Kisah ‘kemanusiaan’ lain lahir pada cerita Bunga Mawar dan Burung Bul Bul karya Oscar Wilde (1888). Dikisahkan bagaimana seorang pelajar mencintai seorang perempuan, dan akan mau diajak berdansa di pesta sang pangeran jika si pemuda bisa membawakannya mawar merah. Sayangnya, di kebun milik pemuda itu tak ada mawar merah sama sekali, adanya mawar putih.
Oleh karena itu, si pemuda selalu merenung dan menyesali kondisinya. Betapa ia mencintai si perempuan, namun ia tak akan bisa memenuhi keinginannya. Burung Bul Bul setiap saat menyaksikan si pemuda hidupnya nelangsa karena hal itu.
Burung Bul Bul sangat gembira menyaksikan masih ada cinta sejati seperti dimiliki si pemuda. Menurut si pemuda, perempuan yang dicintainya menganggap setangkai mawar merah lebih berharga bila dibandingkan zamrud. Itu sebabnya, Burung Bul Bul berusaha pergi mencarikan mawar merah. Terbang ke kebun di puncak gunung, lalu pergi ke kebun lain. Di kebun di puncak gunung sekitar pun, demikian, tumbuh hanya mawar kuning.
Hingga akhirnya, setangkai mawar memberitahunya ada satu cara agar mawar putih bisa berubah merah, yaitu dengan meneteskan darah dari jantung si Burung Bul Bul. Caranya adalah dengan menekankan tubuhnya pada duri mawar, hingga menghunjam jantung, dan darahnya kering. Itu pula yang akhirnya dilakoni si Burung Bul Bul demi menghasilkan mawar merah untuk si pemuda.
Masih banyak kisah tentang hewan yang bagus untuk dijadikan bahan belajar hidup dan kemanusiaan
Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah, si pemuda menemukan mawar merah di kebunnya. Dengan riang dipetiknya setangkai mawar merah itu dan dibawa pada perempuan yang dicintainya.
Sayangnya, si perempuan menolak bunga mawar itu dengan alasan tak sesuai dengan bajunya yang biru. Si pemuda marah, merasa si perempuan tak tahu terima kasih. Bunga mawar merah di genggaman tangan si pemuda lantas dibuang ke tanah, masuk ke dalam kubangan, dan digilas oleh kereta kuda.
Sebuah akhir tragis bagi mawar merah dan si Burung Bul Bul. Pengorbanannya untuk manusia tak dihargai sama sekali. Siapa sebenarnya yang punya nurani?
Kisah lain tentang hewan juga muncul dalam novel Mobi Dick or The Whale (1851) karya penulis Amerika, Herman Melville. Di sini, ditampilkan paus warna putih yang dianggap ganas dan sebagai paus pembunuh yang suka mengamuk. Namun dalam ceritanya, yang ditunjukkan sangat ambisius justru adalah manusia yang kerjanya berburu paus untuk diambil minyaknya, bahkan dagingnya tidak banyak dipakai.
Kisah ini ada pada masa perburuan paus abad 19 di mana saat itu sangat brutal. Pada akhir cerita, paus pembunuh tetap tak bisa ditaklukkan oleh manusia. Paus mengamuk dan orang-orang yang memburunya kapalnya pecah.
Novel ini akhirnya mengajak manusia merefleksikan diri, semulia itukah manusia, dan seganas itukah paus seperti yang digambarkan? Nyatanya sebaliknya.
Lebih lanjut, apabila ditarik pada masa era Jawa Kuno, bahkan manusia sudah diajak untuk belajar nilai-nilai hidup dari hewan dalam naskah fabel Tantri Kamandaka. Sejumlah relief kisah fabel itu terdapat di Candi Jago, Kabupaten Malang.
Misalnya kisah lembu dan buaya. Di mana buaya yang semula ditolong lembu, akhirnya memakan lembu. Namun akhirnya buaya menerima karma, yaitu harus mati dibantai pemburu.
Masih banyak kisah tentang hewan yang bagus untuk dijadikan bahan belajar hidup dan kemanusiaan.
“Sangat umum cerita sastra mengandung refleksi kemanusiaan. Kalau tidak manusia merefleksikan kehidupan manusia dengan menghadirkan sosok lain atau cerita fiksi, cerita sastra juga bisa sebagai angan-angan atas situasi ideal yang tidak ada (dunia utopis),” kata Dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung Wawan Eko Yulianto, Selasa (13/08/2024).
Menurut Wawan, bahkan ada genre sendiri di fiksi ilmiah, yaitu utopianisme (menunjukkan dunia ideal tapi sebenarnya tidak ada) dan distopianisme (menghiperbolakan kerusakan yang ada saat ini namun masih ada harapan baik ke depan).
“Selain sastra tulis, cerita hewan dalam berbentuk film juga banyak. Hollywood banyak menggali cerita dari binatang. Kenapa hewan menjadi hal menarik ditulis dan di filmkan? Mungkin karena selama beratus-ratus tahun, masanya berfokus pada manusia. Disebut masa antroposen.
Ini adalah masa di mana penurunan bumi kerusakannya paling parah/drastis. Mungkin ini yang menyebabkan penulis mencoba merefleksikan seperti apa dampak dari ulah manusia. Sehingga yang diambil adalah kisah tentang hewan atau tumbuhan. Bukan lagi manusia,” kata Wawan yang juga merupakan Wakil Rektor 3 bidang kemahasiswaan dan kerja sama Universitas Ma Chung.
Iman Suwongso, penulis asal Malang, mengatakan bahwa hakikat sastra adalah kemanusiaan. Sehingga, meski mengambil simbol apapun dalam sebuah cerita, maka memang sudah seharusnya karya-karya sastra berujung pada kemanusiaan.
“Perumpamaan dengan simbol tertentu termasuk hewan, dalam sastra bisa digunakan untuk menyampaikan kritik dan gagasan,” kata Iman.
Begitulah, kisah-kisah kemanusiaan dari para hewan di atas hanya sebagian kecil saja. Ada kisah-kisah lain seperti kesetiaan anjing Hachiko pada tuannya, kisah kucing jalanan bernama Bob yang mengubah nasib tuannya dari tuna wisma menjadi bintang, dan kisah-kisah mengharukan lainnya.
Rasanya, ketika manusia mulai ‘kehilangan’ kemanusiaannya, tak ada salahnya kini belajar nilai-nilai kemanusiaan dari para hewan. Bagaimana menurut Anda?
Link berita asli di sini.
Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka Segera Daftar Sekarang.