CARA MENDAFTAR

1 Kunjungi pmb.machung.ac.id.
2 Lengkapi Data.
3 Tunggu Email Konfirmasi

Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: [email protected]. Terima Kasih!

Jadwal Buka ADMISI UMC

Senin-Jumat 8:00AM - 5:00PM

Bahasa Indonesia: Masihkah Layak Dibanggakan?

by Humas Universitas Ma Chung / 27 October 2025 / Published in Machung

Oleh: Patrisius Istiarto Djiwandono | Oct 27, 2025 – 11:07

Semua berawal dari segumpal rasa heran saya ketika berkelana ke situs bernama Wattpad. Situs itu memajang tulisan fiksi digital dari penulis-penulis muda seluruh pelosok Indonesia. Yang mengherankan, banyak sekali judul karya-karya fiksi itu ditulis dalam bahasa Inggris, namun ketika dibuka ternyata isinya dituangkan dalam bahasa Indonesia. Ini tentu menimbulkan pertanyaan di benak saya: ada apa dengan bahasa Indonesia sebagai judul novel? Jika memang ingin berbahasa Inggris, mengapa tidak menulis keseluruhan novel itu dalam bahasa Inggris saja?

Karena ingin mendapatkan perspektif dari sudut pandang orang lain, saya melontarkan cuitan di media sosial Threads. Intinya, saya menyatakan keheranan mengapa novel yang sepenuhnya ditulis dalam bahasa Indonesia ternyata memajang judul dalam bahasa Inggris.

Jawaban salah seorang pembaca adalah kita bebas mau menggunakan bahasa apapun dalam judul fiksi. Tidak ada aturan yang mewajibkan seseorang menggunakan bahasa Indonesia dalam karya tulisnya. Jika penggunaan bahasa Inggris dirasakan lebih menarik perhatian pembaca, maka penggunaan bahasa Inggris sebagai judul boleh saja.

Tentu saja jawaban netizen di atas makin menyiratkan fakta bahwa sebenarnya penutur asli bahasa Indonesia merasa tidak bangga dengan bahasa nasionalnya sendiri. Mereka merasa bahasa Inggris terkesan lebih elok, lebih memikat perhatian, dan lebih bergengsi daripada bahasa nasionalnya sendiri. Maka saya mencoba mengingatkan netizen tersebut tentang Undang Undang no 24 tahun 2009 yang berbunyi: “kita mengutamakan bahasa nasional, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing”.

Sang netizen tetap bersikukuh bahwa peraturan itu berlaku untuk ragam formal dan ranah akademik. Di luar itu, khususnya di ranah penulisan kreatif, orang Indonesia bebas menggunakan bahasa apapun untuk menyuarakan perasaannya.

Saya berpendapat bahwa tidak semua hal harus diatur oleh undang-undang dan kebijakan dari pemegang otoritas. Ada beberapa ranah yang memang tidak diatur secara eksplisit, namun justru di ranah seperti itulah keteguhan karakter seseorang diukur. Apakah dia cenderung memanfaatkan kebebasan itu untuk merendahkan martabat bangsanya sendiri dan mengagungkan budaya bangsa lain, atau tetap mampu merasa bangga dengan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia?

Kebebasan. Kata itu makin lama makin menyeramkan. Nampaknya manusia belum siap dengan kebebasan yang masih mengandung nilai-nilai baik, tidak menerabas etika dan moral, tetap menjunjung harga diri dan identitas bangsa, dan tidak merugikan orang lain.

Amerika Serikat adalah salah satu contoh yang menunjukkan bagaimana kebebasan itu akhirnya menjadi liar dan makin jauh dari norma peradaban dan bahkan akal sehat. Kebebasan membunuh bayi yang belum lahir, kebebasan menentukan jenis kelamin yang sudah digariskan secara biologis, kebebasan membawa senjata api kemana-mana, bahkan kebebasan membunuh orang yang berbeda pendapat (seperti kasus ditembaknya Charlie Kirk) adalah beberapa contohnya.

Yang saya khawatirkan, kebebasan liar itu juga mulai merembes ke ranah ekspresi estetik lewat tulisan, khususnya fiksi, di Indonesia. Dengan berkilah pada ungkapan “penulis bebas mengungkapkan apapun dalam karya tulisnya”, sebagian orang berpendapat bahwa kebebasan itu termasuk juga menggunakan bahasa asing untuk satu hal yang seharusnya bisa lebih elok diungkapkan dengan bahasa Indonesia.

“Keanehan” penggunaan bahasa ini sebenarnya sudah lama bisa dirasakan. Sebagian besar bangsa kita nampaknya gemar sekali menggunakan label bahasa Inggris untuk makna yang sebenarnya bisa diungkapkan dengan bahasa Indonesia. Mulai dari spanduk dan papan iklan di ruang publik, tanda-tanda peringatan di berbagai tempat, penjelasan di berbagai aplikasi digital, bahkan sampai pada gelaran formal seperti wisuda sarjana.

Yang terakhir ini penulis amati sendiri di sebuah kampus swasta di Jawa Timur. Hajatan khidmat dan formal itu dipayungi sebuah tema besar dalam bahasa Inggris seluruhnya. Ini menimbulkan tanda tanya karena ternyata seluruh acara disampaikan dalam bahasa Indonesia, dan hadirin yang datang pun seluruhnya orang Indonesia!

Teringat kembali pengalaman penulis beberapa belas tahun silam menjelang Lebaran. Di jalan utama di kota, beberapa spanduk bertebaran dengan ucapan selamat menyambut Lebaran. Semua ditulis dengan bahasa Inggris. Sekali lagi keheranan yang sama menyeruak: bukankah semua yang akan merayakan Idul Fitri itu orang Indonesia? Mengapa harus diungkapkan dalam bahasa Inggris?

Keanehan itu terasa makin menyayat manakala kita menyimak urutan kemampuan berbahasa Inggris bangsa Indonesia. Menurut sebuah survai lembaga pendidikan ternama, kemampuan bahasa Inggris orang-orang Indonesia ternyata masih terpuruk jauh sekali dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Jadi, sekalipun orang Indonesia gemar memasang label dan ungkapan dalam bahasa Inggris, kemampuan bahasa Inggris nya masih sangat rendah. Dengan kata lain, sekalipun mereka nampak percaya diri dengan memajang ungkapan berbahasa Inggris, begitu ada penutur asli bahasa Inggris mengajak mereka berkomunikasi dalam bahasa tersebut, mereka akan lari lintang pukang karena malu tidak bisa berbahasa Inggris. Bukankah ini hal yang sangat aneh?

Melalui permenungan yang cukup panjang, akhirnya penulis sampai pada satu kesimpulan: kita, bangsa Indonesia, adalah bangsa yang rendah diri. Di mata kita, bahasa Indonesia yang dulu diperjuangkan dengan susah payah oleh para pahlawan Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pemersatu, adalah bahasa yang tidak bergengsi, tidak modern, tidak cukup untuk dibanggakan, dan oleh karenanya harus digantikan oleh bahasa Inggris yang bercita rasa lebih bergengsi, lebih memikat dan lebih modern. Sekian juta nyawa pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan dan usia kemerdekaan yang sudah 80 tahun belum cukup untuk mengikis mental rendah diri itu.

Sesederhana itu. Dan itu menyedihkan. (****)

Patrisius Istiarto Djiwandono adalah guru besar bidang pendidikan bahasa di prodi English for Global and Creative Communication, Universitas Ma Chung, dan Ketua Dewan Pakar Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia. Tulisan ini dibuat untuk menyambut Bulan Bahasa Nasional 2025.

Editor: Wadji

Link berita asli di sini

Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka  Segera Daftar Sekarang.

TOP