CARA MENDAFTAR

1 Kunjungi pmb.machung.ac.id.
2 Lengkapi Data.
3 Tunggu Email Konfirmasi

Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: [email protected]. Terima Kasih!

Jadwal Buka ADMISI UMC

Senin-Jumat 8:00AM - 5:00PM

Agar Tradisi Tak Mati Gaya, Pakar Ma Chung Ungkap Kunci Hibriditas Budaya

by Humas Universitas Ma Chung / 18 July 2025 / Published in Machung

M Afnani – beritajatim18 Juli 2025 | 11:54

Malang (beritajatim.com) – Di tengah arus deras budaya populer, bagaimana cara agar warisan tradisi tidak tergerus atau sekadar menjadi tontonan kosong tanpa makna? Menjawab tantangan ini, seorang pakar budaya Tionghoa dari Universitas Ma Chung menawarkan sebuah solusi kunci: “hibriditas budaya”.

Anggrah Diah Airlinda, S.S., M.TCSOL., yang merupakan Kepala Program Studi Pendidikan Bahasa Mandarin Universitas Ma Chung, menegaskan bahwa budaya tradisional harus mampu berdialog dengan zaman agar tetap hidup dan relevan, terutama bagi generasi muda.

Menurutnya, festival seperti Chinese Indonesian Festival (ChiFest) 2025 yang akan menyandingkan Barongsai dengan musik modern adalah contoh nyata dari penerapan konsep hibriditas budaya tersebut.

“Pendekatan ini bisa disebut sebagai bentuk hibriditas budaya. Ini bukan kontradiksi, melainkan cermin dari semangat untuk menampilkan budaya Tionghoa yang menonjol sekaligus terbuka terhadap perkembangan zaman,” ujar Laoshi Anggrah di Malang, Jumat (18/7/2025).

Ia memandang strategi ini sebagai langkah inovatif untuk menjembatani tradisi dan modernitas. Tujuannya adalah menciptakan ruang kultural baru yang inklusif, memperluas partisipasi masyarakat, dan menegaskan bahwa pelestarian budaya tidak berarti harus kaku dan tertutup.

Pakar yang akrab disapa Laoshi Anggrah ini memperingatkan, tanpa adanya jembatan penghubung ke dunia modern, sebuah kesenian tradisional berisiko kehilangan makna filosofisnya. Ia mengambil contoh Barongsai yang sering kali hanya dilihat dari sisi atraktifnya saja.

“Jika makna simboliknya tidak dikomunikasikan, generasi muda tidak akan mengerti bahwa gerakan dalam Barongsai itu tidak bisa dilakukan sembarangan,” tegasnya. “Ada filosofi di balik ritmenya, keseimbangan tubuh, kerja tim, serta keselarasan antara musik dan gerak.”

Menurut analisisnya, Barongsai secara fundamental adalah representasi kekuatan, kebijaksanaan, dan pembawa keberuntungan yang diwariskan lintas generasi. Kehilangan pemahaman ini akan mengubah sebuah ekspresi identitas budaya yang kaya menjadi sekadar hiburan visual.

Peran Universitas sebagai Jembatan Intelektual

Lebih lanjut, Anggrah menyoroti peran strategis dan tanggung jawab besar yang dimiliki institusi pendidikan tinggi seperti universitas. Menurutnya, universitas harus proaktif menjadi jembatan antara warisan leluhur dan realitas budaya populer yang digandrungi mahasiswa.

Ia membaginya ke dalam dua ranah utama. Pertama, ranah akademik, Universitas harus menjadi pusat penelitian, dokumentasi, dan pengembangan warisan budaya. “Mahasiswa perlu didorong untuk tidak hanya menjadi konsumen budaya populer, tetapi juga bisa meneliti bagaimana akulturasi budaya itu terjadi,” jelasnya.

Kedua, ranah Sosial-Kultural: Kampus harus menjadi ruang interaksi di mana budaya tidak hanya diajarkan, tetapi juga dialami secara emosional dan sosial. “Ini bisa dilakukan melalui festival budaya, pertunjukan seni, hingga lokakarya yang didukung universitas,” tambah Anggrah.

Ia menegaskan bahwa Universitas Ma Chung telah menjalankan peran ini dengan mendukung penuh UKM Mahasiswa seperti UKM Wushu dan UKM Chinese Corner, yang menjadi wadah konkret bagi mahasiswa untuk melestarikan sekaligus menginovasikan budaya.

“Masa depan pelestarian budaya tidak terletak pada upaya membekukannya dalam waktu, melainkan pada kemampuan untuk beradaptasi, berinovasi, dan membuka diri secara cerdas tanpa kehilangan nilai-nilai intinya,” ujarnya menutup. [dan/aje]

Link berita asli di sini.]

Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka  Segera Daftar Sekarang.

TOP