Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: [email protected]. Terima Kasih!
Official Website Universitas Ma Chung.
T : (0341) 550 171
Email: [email protected]
Universitas Ma Chung
Villa Puncak Tidar N-01, 65151, Malang, IND
Ilman Nafian | Rabu, 22 Oktober 2025 | 09:16 WIB
ALONESIA.COM – Kasus dugaan gagal bayar yang menimpa PT Dana Syariah Indonesia (DSI) menarik perhatian publik dan kini tengah didalami oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menanggapi hal ini, pakar investasi Universitas Ma Chung Malang, Tarsisius Renald Suganda, SE., M.Si., Ph.D., CRA., CIC., menilai peristiwa tersebut harus menjadi pelajaran penting bagi masyarakat, terutama bagi investor atau lender di platform pendanaan berbasis teknologi (P2P lending).
“Kasus seperti PT Dana Syariah Indonesia itu seharusnya jadi pelajaran penting bagi kita semua, terutama para lender. Kalau bicara investasi P2P, tetap ada risikonya,” kata Renald seperti dilihat dari AboutMalang.com, Rabu (22/10/2025).
Label Syariah Bukan Jaminan Bebas Risiko
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ma Chung ini menegaskan bahwa label syariah maupun izin dari OJK tidak berarti investasi tersebut tanpa risiko.
“Meskipun berlabel syariah, meskipun punya izin OJK, tetap ada risikonya. Masyarakat perlu paham hal itu dan tetap bersikap tenang tapi waspada,” tegasnya.
Renald, yang menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Yeungnam, Korea Selatan, menambahkan bahwa masyarakat perlu lebih jeli dan kritis sebelum menempatkan dana di platform investasi digital.
Tips Aman Investasi P2P: Cek Legalitas dan Transparansi
Menurutnya, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan investor agar terhindar dari penawaran menyesatkan.
“Yang paling mudah, cek dulu legalitas lembaganya. Lihat di laman resmi OJK apakah sudah berizin dan terdaftar. Setelah itu, perhatikan transparansi laporan, terutama imbal hasil atau return yang ditawarkan,” ujarnya.
Selain itu, reputasi manajemen perusahaan juga menjadi indikator penting.
“Kita perlu tahu siapa yang ada di balik manajemennya. Kalau ada janji keuntungan tinggi tanpa penjelasan risiko yang memadai, itu tanda untuk berhati-hati,” tambah Renald.
Perlu Penguatan Literasi dan Pengawasan Regulator
Renald menilai bahwa penguatan literasi keuangan dan edukasi publik merupakan langkah strategis untuk mencegah kasus serupa di masa depan.
“OJK dan asosiasi fintech harus memastikan pelaku industri patuh dan transparan. Tapi yang tidak kalah penting, masyarakat harus punya ruang untuk mengadu ketika ada masalah dengan platform tertentu,” jelasnya.
Menurutnya, ada tiga hal utama yang perlu diperkuat:
“Kalau inklusi keuangan mungkin sudah cukup baik di kota besar, tapi literasi keuangan ini masih jadi PR besar,” ungkapnya.
Investor Diminta Tak Mudah Tergiur Iming-Iming Keuntungan
Sebagai penutup, Renald berpesan agar masyarakat tidak mudah tergoda dengan embel-embel syariah atau janji imbal hasil tinggi tanpa memahami risikonya.
“Yang berbasis syariah pun tetap ada risikonya, apalagi yang konvensional. Jadi masyarakat perlu melek dalam hal ini,” pungkas dosen yang juga lulusan Magister Sains Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini.***
Link berita asli di sini.

Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka Segera Daftar Sekarang.