Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: [email protected]. Terima Kasih!
Official Website Universitas Ma Chung.
T : (0341) 550 171
Email: [email protected]
Universitas Ma Chung
Villa Puncak Tidar N-01, 65151, Malang, IND
Shintiya Yulia Frantika | Selasa, 22 Juli 2025 | 19:10 WIB
AboutMalang.com – Dr. HE. Syafri Adnan Baharuddin, Ak., MBA., CA., dosen Magister Manajemen Inovasi (MMI) Universitas Ma Chung, membagikan pengalaman luar biasanya saat memimpin sidang di forum internasional bergengsi, World Trade Organization (WTO), yang merupakan bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam kisahnya, ia menekankan pentingnya disiplin waktu sebagai kunci keberhasilan dalam kancah global.
“Orang Indonesia terutama yang bukan diplomat dikenal kan molor waktu, lelet. Saya buktiin sampai sana, pada saat saya di Jenewa saya mimpin rapat, tepat jam 8 saya buka dan betul jam 9 berakhirnya. Itu membuat kita direspek. Karena kita jaga waktu,” ujar Syafri.
Pria yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk WTO periode 2012–2015 ini menuturkan, perjalanan kariernya dipengaruhi oleh latar belakang keluarga yang sudah sejak dini terbiasa dengan eksposur internasional.
Ayahnya merupakan seorang pejabat tinggi provinsi di Indonesia Timur yang juga pernah bekerja di lembaga USAID di Kedutaan Besar Amerika Serikat.
“Sejak kecil saya sudah terbiasa membaca majalah Time dan Newsweek, dan menonton acara berbahasa Inggris seperti Flipper dan Woody Woodpecker. Bahasa Inggris saya terbentuk dari mendengar dan meniru,” kenangnya.
Syafri yang juga pernah mendapat beasiswa bergengsi Fulbright Scholarship untuk studi S-3 di Amerika Serikat, menyampaikan bahwa salah satu modal utama untuk bisa berkiprah di forum dunia adalah kedisiplinan, terutama dalam hal waktu dan perencanaan.
Ia mengaku nilai-nilai tersebut sudah tertanam sejak mengenyam pendidikan di sekolah Katolik dan kemudian dilanjutkan saat kuliah di STAN.
“Saya tidak pernah melakukan sesuatu tanpa perencanaan. Kalau gagal, itu urusan lain. Tapi tidak boleh tidak direncanakan,” ujarnya menegaskan.
Saat menjabat di WTO, Syafri mengaku harus mengubah paradigma dari seorang auditor menjadi diplomat.
Tantangan itu berhasil ia lewati karena fondasi disiplin dan kesiapan menghadapi perubahan yang sudah ia bangun sejak awal.
Dalam sesi wawancara bersama mahasiswa, Syafri juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap generasi muda yang terlalu bergantung pada teknologi.
Menurutnya, teknologi harus menjadi alat bantu, bukan alat utama. Ia mendorong mahasiswa untuk tetap aktif secara fisik, bersosialisasi, dan mencari pengalaman nyata, termasuk dengan memanfaatkan peluang beasiswa ke luar negeri.
“Dulu kami sangat susah cari beasiswa, sekarang beasiswa bertebaran. Sayang kalau tidak dimanfaatkan. Saya iri secara positif dengan anak-anak sekarang,” ucapnya.
Di akhir perbincangan, Syafri menyatakan optimisme terhadap peluang Indonesia menuju Indonesia Emas 2045.
Meski saat ini indeks daya saing global Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah, ia yakin perubahan bisa terjadi bila generasi muda memupuk karakter kepemimpinan, disiplin, dan global mindset sejak dini.
Link berita di sini
Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka Segera Daftar Sekarang.