Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: [email protected]. Terima Kasih!
Official Website Universitas Ma Chung.
T : (0341) 550 171
Email: [email protected]
Universitas Ma Chung
Villa Puncak Tidar N-01, 65151, Malang, IND
Arvendo Mahardika | Selasa, 22 Juli 2025 | 16:02 WIB
AboutMalang.com – Kemajuan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) membuat sebagian masyarakat bertanya-tanya, apakah teknologi ini bisa benar-benar menggantikan peran manusia?
Kekhawatiran ini muncul seiring makin banyaknya penerapan AI dalam bidang kerja dan kehidupan sehari-hari.
Dalam Podcast Ma Chung Talk yang diunggah pada YouTube Universitas Ma Chung beberapa waktu lalu, Windra Swastika, S.Kom., M.T., Ph.D., dosen Teknik Informatika Universitas Ma Chung, memberikan pandangannya soal fenomena AI yang kini tengah ramai diperbincangkan.
Menurutnya, AI adalah sesuatu yang sudah sangat dekat dengan kehidupan manusia, hanya saja banyak orang tidak menyadarinya.
“Kalau ngomong AI itu kita ini sering mengalami, sering melihat, tapi enggak sadar itu sebenarnya adalah AI,” ujar pria yang juga Wakil Rektor II Universitas Ma Chung itu, sebagaimana dikutip AboutMalang.com, Selasa, 22 Juli 2025.
Windra menyebutkan contoh penggunaan AI dalam aplikasi sehari-hari seperti Siri, Google Assistant, atau rekomendasi tontonan di Netflix.
Semua itu, kata sang pakar, merupakan penerapan AI yang sudah terintegrasi dan berjalan otomatis tanpa intervensi manusia secara langsung.
“Tentu enggak mungkin itu orang atau operator yang menjawab semua pertanyaan orang-orang di seluruh dunia. Itu adalah AI, itu salah satu penerapannya,” tambahnya.
Saat ditanya soal apakah AI bisa menggantikan manusia, Windra menegaskan bahwa AI bukanlah entitas yang bisa sepenuhnya mengambil alih peran manusia, terutama dalam hal pengambilan keputusan strategis atau urusan moral.
“AI itu hanya sebagai alat untuk memudahkan. Tapi pada akhirnya, pemegang keputusan itu tetap ada di manusia,” tegasnya.
Windra mengibaratkan AI sebagai pedang bermata dua.
Di satu sisi, AI bisa memberikan banyak kemudahan, tapi di sisi lain juga bisa menimbulkan persoalan baru jika tidak digunakan secara etis.
“Bahwa AI itu seperti pedang bermata dua. Penggunaannya itu apakah etikal atau tidak, pilihannya di kita,” ungkapnya.
Dalam diskusi tersebut, ia juga menyinggung tentang munculnya profesi-profesi baru akibat perkembangan AI.
Bukan hanya menggantikan pekerjaan lama, AI juga membuka peluang karier yang sebelumnya tidak pernah ada.
“Karena adanya AI ini akan muncul pekerjaan-pekerjaan yang baru juga. Banyak aplikasi AI yang ditanamkan atau bahkan sedang dikembangkan,” jelasnya.
Namun demikian, Windra juga memberi peringatan agar masyarakat tidak hanya menjadi “penikmat” teknologi.
Menurutnya, ada dua pilihan dalam menghadapi gelombang AI: menjadi konsumen pasif atau turut berkontribusi dalam pengembangan teknologi tersebut.
“Ini akan jadi penikmat. Penikmat tuh artinya teknologinya sudah ada, tinggal kita nikmati. Atau kita bisa berkontribusi di dalamnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia mendorong agar generasi muda tidak hanya menggunakan AI untuk keperluan sehari-hari, tetapi juga memahami logika dan cara kerjanya.
Menurutnya, pemahaman teknis menjadi penting agar manusia tetap berada di posisi pengendali, bukan justru dikendalikan oleh teknologi.
Windra juga menyampaikan bahwa AI tidak memiliki kesadaran, keinginan, atau emosi seperti manusia.
Oleh karena itu, potensi ancaman AI seperti dalam film fiksi ilmiah, seperti Terminator atau Matrix, perlu disikapi secara proporsional dan berdasarkan pengetahuan, bukan ketakutan.
Sebagai penutup, Windra mengingatkan bahwa AI adalah keniscayaan dalam dunia digital saat ini.
Namun, yang menentukan apakah AI akan menjadi ancaman atau peluang adalah manusia itu sendiri.
“Kalau kita bisa memahami, menguasai, dan memanfaatkan AI secara bijak, maka AI akan jadi alat yang sangat membantu, bukan pengganti manusia,” pungkasnya.
Link berita asli di sini.
Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka Segera Daftar Sekarang.