CARA MENDAFTAR

1 Kunjungi pmb.machung.ac.id.
2 Lengkapi Data.
3 Tunggu Email Konfirmasi

Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: [email protected]. Terima Kasih!

Jadwal Buka ADMISI UMC

Senin-Jumat 8:00AM - 5:00PM

Facelift Benteng Pendem Ngawi: yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti

by Humas Universitas Ma Chung / 7 January 2025 / Published in Machung

Wawan Eko Yulianto | 7 Januari 2025 | 15:45

Beberapa minggu lalu, dalam sebuah percakapan di atas mobil dalam perjalanan ke luar kota, kawan saya Felik bercerita tentang Benteng Pendem Van Den Bosch di Ngawi.

Menurut Felik, benteng pendem ini dulunya bangunan era kolonial yang sudah tinggal tembok (yang plesternya sudah terkelupas oleh usia) dan tanpa atap sedikit pun.

Namun, sekarang tempat ini sudah bagus dan jadi objek wisata Ngawi yang semakin populer dan penting. Kalau pakai istilah medis estetik, benteng pendem ini sudah mengalami facelift.

Felik sangat menyarankan saya mengunjungi benteng ini, bahkan kalau tujuan utama saya sebenarnya ke kota Madiun. Tinggal tambah 1 jam saja dari Madiun, saya sudah bisa sampai Ngawi dan bisa mendapati Benteng ini tidak jauh dari alun-alun Ngawi.

Dan ketika tiba kesempatan untuk ke Ngawi, saya pun sediakan waktu khusus untuk ke benteng ini. Kami datang kepagian ketika penjaga tiket belum datang. Awalnya saya hampir saja meninggalkan benteng ini karena merasa terlalu lama menunggu.

Untungnya, istri saya mengajak saya untuk menunggu sebentar. Alhasil, saya mendapatkan sajian wisata yang sangat berarti hanya dengan tiket Rp10.000 per orang.

Ketika melihat-lihat lagi foto dan video yang saya ambil selama berada di benteng ini, di pikiran terus ada lantunan reff dari lagu karya Banda Neira. Pastinya lagu ini secara utuh memiliki makna yang berbeda dengan benteng ini.

Tapi, kesan nada dan kata-katanya di beberapa terasa begitu selaras dengan perjalanan benteng Van Den Bosch:

yang patah tumbuh, yang hilang berganti
yang hancur lebur, akan terobati

Perubahan Rencana

Rencana awal kami adalah jalan pagi di alun-alun Kabupaten Ngawi, balik ke penginapan, dan baru selanjutnya agak siang berangkat ke Benteng Pendem Van Den Bosch dan lanjut ke Museum Trinil. Sejarah adalah tema kami hari itu. Namun perjalanan punya ritmenya sendiri yang perlu didengarkan, dan kami mendengarkannya.

Ketika berkunjung ke rumah Felik di Ngawi pada Jumat malam, kami mendapat saran untuk sarapan di salah satu pasar yang ada di sekitar benteng pendem. Mungkin ada kuliner lokal yang kami suka. Kami pun mengiyakan, dan itu artinya kami harus merelakan jalan pagi ke alun-alun. Tidak apa.

Pagi itu, dari penginapan kami langsung berjalan ke Pasar Besar Ngawi, sebuah pasar modern beberapa tingkat yang tampaknya masih cukup baru. Di perjalanan, kami melihat beberapa rumah yang bising sekali dengan kicauan burung.

Ada rumah yang lantai satu dan duanya seperti rumah hunian biasa, tetapi lantai tiganya tampak dijadikan tempat budidaya walet.

Di Pasar Besar Ngawi, kami menikmati sarapan yang santai sambil menatap keluar pasar melalui loster lobang angin.  Di hadapan kami ada soto ditemani kerupuk, tempe mendoan, dan tempe gembus (yang di Malang atau Sidoarjo disebut tempe menjes). Di luar jendela, dari loster lobang angin, tampak pertokoan, rumah budidaya walet, dan orang-orang yang sibuk beraktivitas.

Setelah puas sarapan, kami melanjutkan perjalanan menuju Benteng Pendem Van Den Bosch. Di sepanjang perjalanan, kami melewati Pasar Ayam Kopla’an, yang khusus menjual ayam.

Ada seorang ibu tua yang ayamnya lepas. Namun, di luar prediksi BMKG, ibu itu dengan tenang tapi dengan kuda-kuda yang mantap mendekati ayam itu dan berhasil menyabet si ayam yang mencoba sia-sia untuk kabur.

Satu lokasi penting yang kami lewati adalah Taman Makam Pahlawan Dr. Radjiman Wedyodiningrat yang berada di sebuah pertemuan jalan yang lancip seperti irisan pizza.

Dr. Radjiman Wedyodiningrat adalah pahlawan yang punya arti penting bagi Ngawi. Meskipun dilahirkan dan dimakamkan di Yogyakarta, pahlawan nasional yang satu ini sejak era 1930-an memilih tinggal di sebuah desa di Ngawi dan mengabdikan diri membantu mengatasi wabah pes di sana.

Selain itu, tentu dari buku sejarah kita tahu bahwa Dr. Radjiman adalah ketua BPUPKI yang kemudian membawa lahirnya PPKI. Salah satu catatan penting tentang dasar negara Pancasila berasal dari catatan Dr. Radjiman Wedyodiningrat.

Selepas TMP Dr. Radjiman Wedyodiningrat itu, tibalah kami di gerbang masuk Benteng Pendem Van Den Bosch. Ketika itu waktu masih menunjukkan pukul 7 lebih sedikit. Suasana sepi. Ada seorang tentara di pos jaga yang mempersilakan kami masuk ketika kami bertanya apa boleh masuk ke kawasan itu meskipun penjaga loket belum ada.

Pikir saya, mungkin ini yang namanya rejeki anak sholeh. Datang kepagian sebelum ada orang lain, dan akhirnya bisa masuk benteng gratis. Tapi, ternyata yang kami lewati itu hanya pintu gerbang utamanya saja. Nanti di kawasan benteng, kami masih harus membayar tiket sebelum melihat semua tampilan.
Namun, ada hikmah tersendiri dari datang kepagian ini. Saya ceritakan nanti. Sementara lirik-lirik Banda Neira masih terngiang:

yang sia-sia akan jadi makna
yang terus berulang suatu saat henti

Rehabilitasi Yang Mengafirmasi
Selewat gerbang utama benteng pendem, kami harus berjalan sekitar 100 meter menuju ke kawasan inti benteng pendem. Dalam perjalanan, terlihat beberapa atraksi pendukung, misalnya labirin tanaman yang setinggi pinggang.

Tentu tidak semengerikan labirin dalam Alice in Wonderland, Maze Runner, atau The Shining. Menjelang memasuki kawasan inti benteng, kami disambut beberapa potong tembok setebal kurang lebih 1 meter yang batu-batanya sebagian terekspos tanpa plester.

Namun, yang tidak disangka-sangka adalah bagian inti benteng tampak cantik dari luar. Memang bangunannya tampak lama, tapi siapa saja bisa melihat bahwa ini adalah bangunan baru. Warnanya putih cemerlang, pintunya kayu tebal, dan di bagian dalam ada ambang pintu lengkung dari batu-batu tanpa plester. Kelihatan seperti benteng yang ada di film-film Spanyol atau Portugal.

Dari tulisan di gerbang, tampaklah bahwa benteng ini dibangun antara tahun 1835-1845. Benteng pertahanan ini dibangun pada akhir masa Perang Diponegoro. Salah satu pejabat Ngawi adalah pengikuti Pangeran Diponegoro.

Setelah perang beberapa waktu, Ngawi ditaklukkan oleh tentara Belanda. Untuk mempertahankan posisi, Belanda membangun benteng pertahanan yang memungkinkan mereka mengintai lalu lintas barang dan manusia di Bengawan Solo dan Kali Madiun yang bertemu sepelemparan batu dari benteng ini.

Pasca proklamasi kemerdekaan RI, benteng pendem ini di bawah penguasaan TNI. Namun, seiring waktu, bangunan ini sedikit demi sedikit mengalami degradasi hingga menjadi seperti puing-puing dengan sebagian besar dinding masih berdiri kokoh.

Menurut papan informasi di bagian dalam benteng pendem, pada tahun 2019 terdapat instruksi dari presiden Joko Widodo untuk melakukan revitalisasi bangunan benteng pendem ini sebagai bagian dari program penyiapan kota pusaka.

Dengan berbagai perannya dalam sejarah, Ngawi sangat pantas menjadi salah satu kota pusaka.
Pemugaran yang dilakukan memang tidak main-main.

Bangunan benteng yang tinggal dinding-dindingnya itu diremajakan lagi hingga lengkap. Sebagian besar bangunan memiliki dua lantai dengan lantai atas beralas kayu jati (ya, Ngawi memang kaya kayu jati).

Atap-atapnya juga sudah lengkap. Beberapa bagian, khususnya bagian lantai dua, diperkuat dengan kerangka besi tebal yang benar-benar kokoh dan mungkin memastikan bangunan ini masih bisa berdiri setidaknya seratus tahun lagi.

Namun, meskipun revitalisasi ini begitu masif, tetap ada bagian-bagian yang dirancang agar tetap bisa menunjukkan “riwayatnya.”

Beberapa bagian dinding di sisi timur, yang berbatasan langsung dengan lahan terbuka ke arah sungai tampak sudah benar-benar diinvasi alam.

Ada pohon yang telah tumbuh di salah satu dinding dan akar-akarnya sudah memakan dinding dan kusen. Bagian-bagian ini dibiarkan seperti sedia kala tetapi dibuat lebih rapi. Ada bagian tertentu di mana akar pohon menyatu dengan kolom bangunan yang di depannya terdapat lampu sorot–pastinya bagian ini akan tampak sangat indah di malam hari.

Di salah satu bagian benteng, terdapat makam KH Muhammad Nursalim. Tidak banyak sumber tertulis tentang beliau.  Namun, menurut beberapa sumber populer, KH Muhammad Nursalim adalah seorang ulama sekaligus pejuang pengikut Pangeran Diponegoro yang memiliki kemampuan luar biasa.

Tokoh ini tidak bisa dibunuh hingga akhirnya prajurit Belanda menguburkannya hidup-hidup di dalam kawasan benteng.

Kalau kita menyusuri benteng pendem searah jarum jam, di bagian akhir kita akan bertemu satu bagian benteng yang seperti belum selesai dipugar.

Bagian ini tidak memiliki atap dan lantai dua. Temboknya masih terekspos. Tampaknya bagian ini memang dibiarkan seperti itu.

Dengan begitu, lengkaplah sudah: ada bagian-bagian yang masih menyisakan tampilan ketika benteng ini dibiarkan termakan usia sejak tidak dipakai. Dengan kata lain, rehabilitasi ini mengafirmasi adanya masa ketika bangunan ini sempat rusak.

Dari papan informasi rehabilitasi bangunan, terdapat informasi tentang konsep arsitekturnya. Di situ disebutkan konsepnya adalah “Adaptive reuse concept, mengembangkan fungsi benteng dengan fungsi baru dan seminimal mungkin mengubah bentuk bangunan lama.”

Tentunya mempertahankan bagian yang rusak ini adalah tambahan dari konsep arsitektur ini, tapi menurut saya strategi ini berhasil mewakili kondisi benteng pada masa-masa tertentu.

Inilah salah satu imaji yang membuat saya terus teringat lirik-lirik lagu “Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti”:

yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
yang patah tumbuh, yang hilang berganti

Potensi pengembangan yang besar
Benteng yang tampak sangat bagus ini sekarang berpotensi memuaskan dahaga kekinian. Saat ini, memang yang tampaknya bisa dinikmati dari benteng ini adalah bangunan yang indah dan sangat cocok buat foto-foto yang siap dipamerkan di sosial media kita.

Bahkan di sana terdapat sebuah wahana selfie 360 derajat yang berputar dan cocok untuk selfi menari-nari.
Menurut istri saya, Benteng Van Den Bosch ini istimewa karena gabungan beberapa hal yang menyenangkan buat dia.

Ada bangunan yang indah, tempat yang bersih, lokasi yang lapang, dan tentu saja kemungkinan melihat langit Ngawi yang cenderung cerah–tidak kalah dengan langit dari foto-foto yang diambil mereka yang berwisata ke Melbourne, misalnya.

Namun tentu saja dia masih punya banyak potensi yang lain. Tempatnya sangat lapang, sejarahnya sangat panjang serta beragam, dan Ngawi yang punya sejarah panjang ini tidak akan rugi kalau mendapat tambahan museum sejarah. Selain itu, museum ini juga sangat cocok sebagai museum modern yang menyajikan cerita dan interaksi.

Sebagai misal, pendiriannya yang merupakan respons terhadap Perang Diponegoro menjadikannya tempat yang cocok untuk memamerkan dan menjadi edukasi mengenai Pangeran Diponegoro sekaligus Perang Jawa.

Lokasinya di Ngawi yang pernah mengalami wabah pes sangat serius (hingga Dr. Radjiman Wedyodiningrat rela mengabdikan diri di Ngawi) menjadikan benteng ini tempat yang cocok untuk belajar tentang sejarah Ngawi.

Bahwa benteng ini pernah dijadikan penjara di masa Jepang juga menjadikannya tempat yang layak untuk berbicara tentang pendudukan Jepang di Ngawi.

Bangunan lama yang diperkuat dengan struktur tambahan.
Pendeknya ada banyak hal yang bisa ditampilkan di museum ini yang, bila digarap secara modern, bisa menjadikan kabupaten sebagai tempat mampir yang lebih dari sekadar tempat makannya bis malam atau bis pariwisata dalam perjalanan dari Surabaya ke Yogya atau sebaliknya.

Sejauh ini, tercatat ada beberapa museum di Ngawi yang ruang lingkupnya sangat spesifik. Kabupaten ini memiliki Museum Trinil yang terkenal karena menyimpan fosil gajah purba Stegodon serta replika tengkorak manusia purba Homo erectus.

Selain itu, ada juga museum Dr. Radjiman Wedyodiningrat yang dulunya merupakan rumah tempat tinggal beliau. Namun, museum modern yang berbicara tentang kabupaten ini dari jaman ke jaman tampaknya belum ada.

Ketika hendak keluar dari kawasan benteng, kami melihat pintu keluar menuju halaman belakang museum. Kalau kita ikuti jalan keluar itu dan menerobos semak-semak, kita juga akan sampai ke tempat yang tak kalah pentingnya, yaitu pertemuan Kali Madiun dan Bengawan Solo.

Tempat ini muncul di halaman pertama novel Para Priyayi karya Umar Kayam putra asli Ngawi. Namun, di dalam novel tersebut, “tempuran” dua sungai itu menjadi penciri kota yang bernama Wanagalih, di mana juga disebutkan bahwa di situ terdapat sebuah Benteng Pendem.

Sabar dulu, kawan. Kita sebaiknya berbicara tentang kaitan antara Para Priyayi dan kota Ngawi ini pada tulisan yang lain.

Kali ini, kita cukupkan saja sampai pada satu hal lagi: bahwa ada satu lagi potensi pengisi museum yang bisa sangat modern dan mengesankan yang bisa berdiri di Benteng Van Den Bosch ini, yaitu karya-karya hebat dan orang-orang hebat yang berasal dari Ngawi ini.

Ah, tambah panjang saja angan-angan saya ini.
Saya meninggalkan Museum ketika hari sudah beranjak. Mungkin sekitar pukul 10. Banyak orang yang tampaknya memang datang ke kawasan museum ini sejak pagi sambil olah raga. Tapi masih banyak lagi orang yang baru datang tampaknya dari dalam kota Ngawi sendiri. Ada satu kelompok jalan-jalan yang berfoto sambil teriak “RT 4!!!”

Di atas saya sempat sebutkan bahwa ternyata datang kepagian juga ada keuntungannya. Ngawi adalah kota yang cenderung panas. Datang kepagian membuat kami bisa menikmati semua itu dengan minim panas. Tapi ya, itu bonus saja.

Semoga dalam beberapa tahun ke depan, ketika kembali ke kota Ngawi dan mengunjungi benteng Van Den Bosch ini lagi, saya melihat sebagian dari angan-angan ini.

Setidaknya, saya berharap ada seorang pemandu museum (atau “Museum interpreter”) yang bisa menjelaskan bagaimana benteng Van Den Bosch ini dulu dibangun dan digunakan.

yang patah tumbuh, yang hilang berganti
yang hancur lebur akan terobati
yang sia-sia akan jadi makna
yang terus berulang suatu saat henti
yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
yang patah tumbuh, yang hilang berganti

Wawan Eko Yulianto
(Blogger dan dosen di Program Studi English for Global and Creative Communication, Universitas Ma Chung Malang)

Link berita asli di sini.

Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka  Segera Daftar Sekarang.

TOP