Hubungi Kami Di 0811 3610 414, atau kirimkan email ke: info@machung.ac.id. Terima Kasih!
Official Website Universitas Ma Chung.
T : (0341) 550 171
Email: info@machung.ac.id
Universitas Ma Chung
Villa Puncak Tidar N-01, 65151, Malang, IND
Oleh: Antono Wahyudi, S.S., M.Fil.
Apr 30, 2024 – 10:43
Tagar “jangan jadi dosen” belum lama ini ramai diperbincangkan oleh netizen. Tidak bisa dipungkiri persoalan gaji Dosen memang perlu dipertimbangkan lebih serius bila melihat beban kerja, atau jika dibandingkan dengan profesi lainnya seperti dokter atau pilot, misalnya. Saya pernah mendengar dari seorang motivator bisnis yang mengatakan, “jika anda ingin kaya raya, jangan jadi Dosen! Jadilah seorang entrepreneur!
Mungkin benar yang dikatakan motivator itu. Sampai hari ini saya belum pernah mengetahui ada seorang Dosen yang memiliki banyak kendaraan mewah, beberapa rumah besar bertingkat dengan fasilitas kolam renang, memakai perlengkapan aksesoris branded super mahal, dan kalau liburan tidak afdol jika tidak ke luar negeri. Ada memang Dosen yang kaya, tetapi profesi kedosenannya hanyalah sebagai pekerjaan sampingan, sementara itu profesi sebagai entrepreneur merupakan pekerjaan utamanya. Dikalangan akademisi, istilahnya adalah seorang praktisi.
Pada sisi yang lain, saya juga mengenal ada Dosen murni yang memiliki kekayaan terbilang tidak sedikit. Kata “murni” di sini memaksudkan profesi Dosen menjadi satu-satunya pekerjaan yang digeluti. Dan, tidak menjabat sebagai pejabat struktural seperti Dekan atau Pimpinan Univarsitas. Tetapi, Dosen ini adalah pasangan suami-istri dan keduanya adalah profesor. Konon tunjangan jabatan akademik sebagai profesor itu besar. Meskipun demikian, tetap saja, belum ada seorang Dosen “murni” yang bisa dikatakan “kaya raya” sebagaimana yang saya contohkan sebelumnya.
Jadi, benarkah dengan demikian bila anda ingin menjadi orang yang kaya raya, jangan jadi Dosen? Bisa jadi benar, bisa jadi salah. Sebab, “kaya raya” itu relatif. Bisa benar jika memang ukuran kekayaan itu adalah menjadi milioner (kuantitas). Bisa salah jika ukuran kekayaan itu adalah (kualitas) kebahagiaan.
Dari tagar “jangan jadi dosen” tersebut justru yang perlu kita renungkan secara lebih mendalam adalah persoalan motivasi kita sebagai Dosen. Apakah tujuan hidup anda sudah berkorelasi dengan profesi anda? Sedikit lebih mempertajam, apakah fungsi utama profesi anda sudah berkorelasi dengan tujuan utama hidup anda?
Setiap profesi memiliki fungsi utamanya dalam arti yang luas. Profesi dokter fungsi utamanya adalah memberikan pengobatan kepada pasien. Pilot fungsi utamanya adalah mengantarkan penumpang ke tempat tujuan. Entrepreneur fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan profit atau keuntungan material. Dosen fungsi utamanya adalah mendidik masyarakat.
Nah, berdasarkan fungsi profesi tersebut, kita dapat mengetahui profesi mana yang memang fungsinya atau tujuannya adalah tak lain untuk menghasilkan profit yang banyak, dan profesi apa yang bukan berfungsi atau bertujuan menghasilkan profit. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk memiliki dan menyelaraskan motivasi dan tujuan utama hidup kita dengan fungsi utama sebuah profesi.
Jika motivasi dan tujuan hidup anda adalah untuk menjadi kaya, maka pilihlah profesi yang berfungsi untuk menjadikan anda kaya. Tetapi jika anda memilih untuk menjadi Dosen, tentu tidak tepat. Jika motivasi dan tujuan hidup anda ingin mendidik masyarakat, tetapi juga ingin menjadi kaya raya, dan anda memilih profesi Dosen sebagai pekerjaan utama, maka yang perlu dikoreksi adalah motivasi dan tujuan hidup anda, bukan semata “menyalahkan” profesi Dosen.
Berdasarkan kedua logika di atas, memang tagar “jangan jadi dosen” menjadi relevan. Meskipun demikian, alih-alih mengeluh tentang gaji Dosen yang sesungguhnya berada di luar kendali kita, fokus penekanan, perhatian sekaligus keprihatinan kita perlu diarahkan pada motivasi dan tujuan hidup kita. Pendek kata, mulailah dari diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum memperbaiki apa yang ada di luar diri kita.
Hal ini penting untuk disadari. Sebab, seandainya gaji Dosen dapat memperkaya, tetapi motivasi dan tujuan utama kita berprofesi sebagai Dosen bukanlah untuk mendidik, maka masyarakatlah yang justru berpotensi menjadi korban. Harapannya, terjadi keseimbangan antara motivasi dan tujuan
Demikian sebaliknya, bila motivasi dan tujuan utama hidup kita adalah untuk mendidik masyarakat, maka kita akan merasa kaya, setidaknya dalam tataran spiritual sekaligus eksistensial, kendati secara material tidak demikian. Logika ini dengan sendirinya hendak mengatakan bahwa tagar “jangan jadi dosen” menjadi tidak relevan lagi.
Kesimpulan yang dapat kita petik adalah bahwa jika berbicara soal profesi dalam bidang pendidikan, maka langkah awal yang dilakukan hendaknya melihat motivasi dan tujuan utama hidup kita. Dengan kata lain, visi hidup menjadi sangat penting. Seorang Dosen hendaknya memiliki visi hidup yang kompatibel dengan fungsi utama profesi kedosenannya.
Tentu saja, persoalan kesejahteraan Dosen bukan berarti menjadi tidak penting di sini. Sebagaimana profesi dokter atau pilot yang notabenenya sangat berimplikasi pada hal-hal yang besar, profesi Dosen atau Guru pada umumnya juga sudah saatnya perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius, terlepas dari faktor kualitas kompetensi maupun sosio-politik yang memang menjadi salah satu tantangannya.
Namun, sekali lagi, visi hidup seorang Dosen jangan sampai terlewatkan. Visi hidup dalam hal ini bergantung pada hasrat menjadi Dosen. Maksudnya, passion menjadi Dosen merupakan hal yang sangat fundamental. Passion dapat menghidupkan motivasi. Motivasi dapat menciptakan tujuan. Tujuan mampu menjembatani diri menuju visi. Pathways dan agency dapat memperjelas arah bagaimana cara menuju visi melalui “jembatan” tujuan hidup. Inilah self-leadership yang penting untuk dimiliki seorang Dosen. Soal self-leadership akan kita perdalam di lain kesepatan.
Lantas, apakah menjadi Dosen merupakan passion anda? Apa motivasi anda menjadi Dosen? Apakah anda memiliki tujuan dan visi hidup yang berkorelasi dengan dunia pendidikan? Sudahkah anda memahami kualitas agency anda sendiri? Sudahkah anda memiliki pathways yang mengarah pada visi?
Akhirnya, apakah anda memandang kebahagiaan dengan ketercapaian kuantitatif semata ataukah kualitatif yang bermakna? Mana yang lebih dominan jika keduanya? Jika pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut tidak dapat terjawab sesuai dengan koridor fungsi dan tujuan utama profesi Dosen, maka sebaiknya turuti saja tagar “jangan jadi dosen”.
Penulis adalah Dosen Program Studi Sastra InggrisUniversitas Ma Chung, Malang.
Penyuting Dr. Ida Sukowati, M.Hum., dosen UNISDA Lamongan dan anggota PISHI.
Link berita asli di sini.
Pendaftaran Mahasiswa Baru Telah Dibuka Segera Daftar Sekarang.